Foto Ruly Handoyo: Sekuntum Bunga
Sejak aku pindah ke rumah ini, rumah yang beriri sendirian di tepi jurang, rumah yang menghadap jauh ke cakrawala, rumah yang dari jendelanya aku bisa menyaksikan bidadari gentayangan di pematang sawah menjelang malam, sejak itu setiap pagi aku mendapat kiriman bunga.
Sering kali bunga-bunga kiriman itu ditaruh di meja teras di bawah jendela. Awalnya merasa aneh. Bunga itu aku pungut, aku pandangi, kemudian aku taruh di vas di sudut ruangan.
Suatu saat bunga itu aku pungut, aku pandangi, aku ciumi, segar dan wangi baunya, bunga asli bunga petik, kemudian aku taruh di vas di sudut ruangan. Suatu saat pula aku menempel bunga kiriman itu di dinding setelah aku bingkai dengan pigura. Ada pula yang aku masukkan di gelas dan aku taruh di meja dapur. Beberapa tangkai aku hias di kamar dan aku geletakkan di atas bantal. Rumahku yang berdiri sendirian di tepi jurang penuh dengan bunga.
Aku tak peduli siapa yang mengirim. Mungkin bidadari itu, atau tetangga. Pernah aku pergoki pengirim bunga itu, sama sekali aku tak mengenalnya. Pengirim bunga itu juga hanya suruhan dan tak mengenal siapa orang memerintahkan untuk mengantar bunga itu. Selebihnya, aku tak mencari tahu.
Suatu kali aku pergi agak lama, berhari-hari. Ketika pulang kembali ke rumah di tepi jurang ini, aku jumpai bunga-bunga kiriman bertumpuk di meja teras dan depan pintu. Aku pungut setangkai, aku timang-timang. Kali ini aku berpikir, kenapa ada yang mengirimi aku bunga setiap hari?
Aku cermati bunga ini, aku bergetar dan berkeringat. Ada untaian doa pada mahkota, kelopak, dan tangkainya. Aku telusuri semua bunga, semuanya penuh doa. Aku berdiam diri, “Tuhan, muliakanlah orang-orang yang mendoakanku tiap pagi. Amin.” Tuhan terasa berada di sisiku.
Djoglo Pandanlandung Malang
Mei 2016
iman.suwongso@yahoo.co.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H