“Kini masalah kecil bisa membuat orang nekad,” kata pakar itu.
Tidak ada waktu lagi! Aku harus secepatnya pulang. Mencegah mereka. Aku akan menyerah. Aku akan mengakui kalau aku salah. Bila perlu aku akan mencium kakinya. Bila dikehendaki, pagi-pagi aku akan datang ke Haji Sis membawa cangkul. Menjadi buruh tani seperti nenek moyangku. Atau menyewa motor untuk menjadi tukang ojeg.
Tak terasa, pipiku basah oleh air mata dan keringat.
Aku kembali pulang dengan kereta lain yang lebih cepat ke kotaku. Malam tiba saat aku menginjak halaman rumahku. Rumah ini terasa sunyi. Seperti tidak berpenghuni. Baru dua malam aku tinggalkan rasanya telah menjadi rumah kuno. Lampu-lampu di dalam padam. Aku membuka dengan kunci cadangan yang kubawa kemarin. Aku akan memberikan kejutan kepada istriku. Memeluknya erat-erat dan membisikkan maaf.
Ah! Ternyata pintu tidak terkunci. Rupanya dia telah tahu kalau aku pasti akan pulang kembali. Aku sudah tidak bisa menguasai hasratku.
Namun, kamar kosong. Kamar anakku melompong. Angin pun berhenti bertiup. Di dalam benakku penuh lintasan-lintasan. Berjejal-jejal membuntu kejernihan pikiranku. Keringat membanjir di seluruh tubuh.
Aku menemukan secarik kertas di meja ruang tamu saat lampu kunyalakan. Pesannya singkat:
“Pak, kami pergi menyusulmu.”
Aku menahan nafas. Waktu seperti berhenti mendadak.
***
Djoglo Pandanlandung Malang
2014/2016
iman.suwongso@yahoo.co.id