Mohon tunggu...
Iman Nur Syuhada
Iman Nur Syuhada Mohon Tunggu... -

saya suka sekali baca, diskusi dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Doktor atau Diktator

19 April 2014   05:38 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:29 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Essai ini di buat bertujuan untuk meninjau lebih dalam akan fenomena sosial di kalangan kampus. Untuk itu, penulis mengambil pengalaman sendiri.

Cerita ini di ambil dari kisah nyata. Kejadiannya hari Senin tanggal 24 Maret 2014. Saya sedang mengenyam mata kuliah Inovasi Pendidikan. Mata kuliah yang merupakan ciri fakultas. Mata kuliah ini memaksa mahasiswa melakukan pembaharuan-pembaharuan yang dapat membawa warna baru dalam dunia pendidikan. Dengan mata kuliah ini, semoga tujuan dari FIP dan jurusan PGSD tercapai, yaitu menghasilkan informasi dan karya-karya inovatif yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.

Hari itu saya diajar oleh dosen yang ber-title sangat minoritas di PGSD, yaitu seorang doktor. Sungguh sesuatu yang sangat langka dapat diajar oleh seorang doktor, mengingat jumlah doktor di PGSD bisa dihitung dengan jari. Pelajaran diisi dengan presentasi kelompok, suatu yang klasik dalam pembelajaran di kampus. Kemudian dilanjutkan dengan sesi pertanyaan dan di lengkapi dengan pelurusan dari sang dosen.

Ketika manusia setengah dewa (red: dosen) sedang meluruskan, saya melihat jam dan waktu pelajaran beliau sudah habis. Tapi karena omongan beliau belum selesai, saya biarkan beliau berbicara dan menunggu beliau selesai. Ketika sudah 5 menit berlalu, beliau masih melanjutkan omongannya, saya masih menahan diri untuk mengingatkan beliau kalau amanahnya di kelas untuk hari itu sudah selesai. Ketika sudah lewat dari 10-15 menit, beliau masih melanjutkannya juga omongannya, dan seketika ada teman saya yang mengingatkan bahwa waktu beliau sudah habis. Lalu saya pun menambahkan, “maaf pak waktu jam ngajar bapak sudah habis dari tadi, kurang lebih 10-15 menit yang lalu, itu namanya korupsi waktu pak, saya berharap mahasiswa tidak diberi input terlalu banyak, saya lebih suka mahasiswa melakukan output lebih banyak”. Beliau pun diam sejenak dan berkata, “oke saya suka sama kelas ini”.

Minggu depannya ketika tangal 31 Maret 2014, makna “suka” dari beliau ternyata adalah ketegasan tanpa demokrasi. Jam 08.00 pas, beliau sudah sampai di kelas dan lalu mengabsen teman-teman saya. Mengingat hari Senin ada himbauan menggunakan pakaian putih hitam, ketika beliau melihat ada teman saya yang tidak menggunakan hitam putih, beliau memaksa teman saya untuk meninggalkan kelas. Ini sungguh aneh bagi saya, bagaimana bisa teman saya kehilangan haknya untuk belajar di karenakan hal konyol seperti itu. Bahkan teman saya yang hanya telat kurang lebih 5 menit, tidak diizinkan untuk belajar, padahal teman saya tinggal di Bogor dan pasti perlu perjuangan untuk tiba di kampus. Saya bertanya dalam hati kecil saya, kemanakah kebijaksanaan beliau? Apakah sudah dipensiunkan?

Kemudian saya tanyakan kepada beliau apa payung hukumnya sehingga bisa teman-teman saya bisa kehilangan hak belajarnya. Dengan nada sedikit tinggi dia bilang, “ini hak preogatif saya untuk mengeluarkan siapa saja”. Kemudian dia menambahkan yang intinya dia merasa tertampar dengan kritik saya yang minggu lalu, yaitu korupsi waktu. Karena saya tidak suka dengan alasannya yang tidak logis, saya pun meminta izin untuk keluar kelas, dan dia pun mengatakan “bagus kamu keluar, kamu punya solidaritas yang bagus”.

Saya langsung bergegas menemui orang tua saya di PGSD, yaitu Kajur. Saya ceritakan permasalahan yang terjadi dan beliau mengambil keputusan bahwa kritikan saya terlalu pedas. Tapi Kajur memberi masukan bahwa mahasiswa sebenarnya bisa memusyawarahkan kembali terkait masalah tadi, karena Negara Indonesia menganut paham Demokrasi.

Selesai berbincang dengan Kajur, alangkah terkejutnya saya bahwa ternyata ketika teman-teman saya belajar dengan beliau, ternyata diadakan UTS dadakan. Aneh dalam benak saya, karena PJ mata kuliah beliau tidak mendapatkan kabar bahwa hari itu akan ada UTS. Saya dan beberapa teman saya langsung menghadap beliau untuk meminta penjelasan. Sesampainya di ruang dosen saya tanyakan kenapa beliau senekat itu dalam mengambil keputusan. Beliau hanya menjawab dia ngin mencoba tegas dalam menangani kelas saya, beliau sungguh tertampar karena kritikan saya minggu sebelumnya dan ingin komitmen serta tegas untuk seterusnya. Saya pun menyampaikan permintaan maaf atas kritikan saya dan berharap beliau bisa kembali santai dalam mengajar. Tapi apa mau dikata, nasi sudah jadi bubur, beliau tidak mau menjilat ludahnya kembali.

Fenomena sosial ini menunjukan bahwa seseorang dengan title yang tinggi, akan merasa tinggi hati. Menurut Karl Marx, akan terlihat bahwa dalam setiap masyarakat terdapat kelas-kelas (golongan atau status sosial) yang berkuasa dan kelas-kelas yang dikuasai. Saya menilai dosen yang sudah mempunyai gelar tinggi seperti S3, merasa berkuasa di dalam bidangnya. Mungkin itu sebabnya Kajur saya tidak bisa membantu saya karena dia hanya S2. Bahkan salah satu dosen pernah berkata kepada saya bahwa walaupun dosen kita salah berbicara di depan kelas, kita tidak boleh membantahnya, karena mahasiswa tidak boleh membuat dosen malu di depan kelas. Lebih gila lagi, dosen yang sedang mengerjakan disertasi pernah cerita ke saya bahwa seorang profesor itu seperti tuhan, semua aturannya harus diikuti. Sungguh fenomena sosial yang gila dan sebuah penindasan kebebasan berpendapat. Ini sesuai dengan anggapan Karl Marx, yaitu pelaku utama dalam masyarakat adalah kelas-kelas sosial.

Sesungguhnya negara Indonesia adalah negara hukum, itu tercantum di pasal 1 ayat 3 UUD 1945. Tapi entah kenapa saya merasakan sistem otoriter di kelas kuliah saya yang jelas menentang sistem domokrasi. Ini terbukti ketika beliau mengambil keputusan secara kehendaknya sendiri. Kemudian saya heran, beliau ini sebenarnya doktor atau dikator?

Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan Dewa dan selalu benar, dan murid bukan kerbau. (Soe Hok Gie)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun