Mohon tunggu...
Iman Ni'matullah
Iman Ni'matullah Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Praktisi Bank Syariah & Aktifis Pusat Pelatihan Wirausaha

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Pria Sejati Adalah Dia Yang Sanggup Memanjat Tembok Besar China

2 Mei 2012   01:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:51 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya buka keran shower. Air hangat memancar dari lubang-lubang kecil. Mengalahkan rasa dingin yang menyelinap di pori-pori. Selesai mandi saya berwudhu menunaikan shalat shubuh dan membaca qur'an 2 lembar. Jam di ponsel saya menunjukkan pukul 5 pagi.


Miss Lina, Tour Guide kami, menelpon saya bahwa dia akan tiba di hotel pukul 8.30. "Anda akan kami ajak ke pabrik kami. Setelah itu kita berangkat ke Great Wall" dia menutup selulernya.


Perjalanan dari pabrik ke Tembok Besar memakan waktu 2 jam. Beijing juga dihinggapi penyakit macet. Bis-bis bertenaga listrik dengan para pekerja bergantungan di dalamnya. Lelaki tua mengayuh becak khas China. Orang-orang memakai jacket tebal hendak menyeberang jalan.


Tembok Besar China atau biasa disebut The Great Wall berdiri kokoh. Memanjang 1000 kilometer dari barat ke timur. Kami mengantri tiket seharga 30 Yuan. Bendera China yang berwarna dasar merah dengan bintang kuning berkibar gagah. Kami berfoto di bawah tulisan Mandarin yang artinya "lelaki sejati adalah mereka yang mampu memanjat Great Wall".


Batu penyusun tembok ini besar-besar. Kokoh namun halus. Saya sentuh permukaannya dingin diterpa angin musim semi. Dengan tinggi sekitar 5 meter dan lebar sekitar 6 meter. Panjangnya 1000 kilometer. Dibangun oleh tenaga manusia tanpa mesin membuat tembok ini pantas dijuluki Great Wall dan pernah terpilih menjadi salah satu dari 7 Keajaiban Dunia.


Saya, Kang Imad, dan Pak Tatang berjalan menanjak di atas tembok ini. Di sebelah kanan dan kiri adalah perbukitan. Mata saya menyusuri tembok ini hingga menjadi garis kecil di kejauhan. Angin menolong kami yang tengah berjuang melawan pegal. Para wisatawan asyik mengabadikan gambar mereka dengan berbagai gaya. Pasangan bule tampak asyik berpelukan dan berciuman tanpa malu-malu.


Kami melihat di bawah tembok tampak deretan toko-toko makanan dan souvenir, hotel, toilet, dan jalanan yang lebar dan halus. Para pedagang menawarkan souvenir. Batu giok, gantungan kunci, kaos, dan sumpit. Muda-mudi cekikan di bawah pohon menikmati suasana.


Orang China memang sejak dahulu dilahirkan sebagai bangsa pekerja keras. Tembok besar ini seakan menjadi penanda bahwa nenek moyang mereka ingin menitipkan pesan "semua impian harus diwujudkan dengan kerja keras".


Nafas kami mulai tersengal. Hidung terasa panas oleh gesekan udara. Jantung berdebar semakin kencang. Kami menghentikan pendakian. Beristirahat sejenak untuk kemudian turun.


Pak Tatang melihat-lihat gelang dari batu giok. Ibu tua itu membuka penawaran di harga 150 Yuan. Pak Tatang meminta turun di 25 Yuan. Ibu itu menolak dan menurunkan harga menjadi 100 Yuan. Pak Tatang menaikkan ke 30. Ibu mengetikkan kembali angka 75 di kalkulator. Pak Tatang tetap menulis 30. Dia menyerah dan mengambil uang 30 Yuan dari tangan Pak Tatang dan memberikannya gelang giok berwarna hijau keputih-putihan. "Buat isteri saya" katanya.


Belakangan saya faham. Bahwa saat menawar barang, kita tak usah sungkan untuk meminta turun bahkan hingga 90% lebih murah. Karena kerapkali pedagang di sini menawarkan barang 10 kali lipat lebih mahal dari harga normal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun