Izinkan saya bercerita tentang pengalaman saat melakukan sosialisasi bank syariah di salah satu daerah di ujung barat pulau Jawa. Pada satu kesempatan saya berkunjung ke salah satu tokoh masyarakat yang juga pemuka agama. Sebutlah namanya Pak Haji Sanusi. "Pak Haji, saya minta izin untuk dapat hadir di majelis ta'limnya Bapak. Sekalian ikut sosialisasi Bank Syariah di Jama'ah Pak Haji" Setelah obrolan ngalor ngidul, saya pun mengutarakan maksud kunjungan kali ini. "Oh, saya masih kurang percaya dengan bank syariah. Menurut saya, Bank syariah cuma memoles-moles istilah perbankan pake bahasa Arab saja biar terlihat islami" Jawab Pak Haji. "Kalau boleh saya mengibaratkan, seperti Babi berbulu Domba" Astaghfirullah. Kata saya dalam hati. Repot nih. Bagaimana cara menjelaskannya. Babi, bagi kami yang beragama Islam, adalah binatang yang najis dan haram dimakan. Meskipun begitu, kami tidak boleh menyakitinya dan menghargai ummat lain yang membolehkannya untuk dimakan. Tapi bila Bank Syariah dianggap Babi berbulu domba, menurut saya agak terlalu berlebihan untuk sebuah tamsil. "Maksud Pak Haji, bagaimana yah yang dimaksud 'babi berbulu domba' itu. Saya masih kurang paham, maklum anak muda, Pak Haji" Saya pun minta penjelasan. "Yah begitulah, Dek. Sebetulnya bank syariah itu sama saja haramnya, hanya saja dipoles dengan bulu domba berupa istilah Arab, seperti Mudharabah, musyarakah, murabahah, ijarah, wadiah, dan sebagainya. Saya sering melihat tuh kelakuan karyawati bank syariah yang pakai Jilbab di kantor saja. eh, waktu dia pulang, jilbabnya dilepas deh" "Hapunten pisan, Pak Haji. Bank Syariah adalah hasil ijtihad para cendekiawan dan pengusaha muslim untuk menciptakan perbankan yang bersih dari transaksi yang diharamkan. bisnis yang mengandung Judi, riba, gharar, bathil adalah sesuatu yang terus dihindari oleh Bank Syariah" "Adapun bila Pak Haji melihat ada beberapa kekurangan dan ketidaksempurnaan, bukan berarti harus ditinggalkan. Waktu saya ngaji di Pesantren, dan saya yakin Pak Haji juga hafal kaidah 'ma laa yudraku kulluhu la yutraku kulluhu'sesuatu yang belum sempurna bukan berarti harus ditinggalkan. Justeru harusnya dikawal agar dia mencapai kesempurnaannya" Begitu jawab saya dengan hati-hati. Saya takut beliau tersinggung. "Oh, kalau begitu saya ralat deh, bukan babi berbulu domba, tetapi Domba berbulu Babi. boleh khan perumpamaannya begitu. ha ha ha" Pak Haji tertawa. Suasana pun mulai mencair. "Mohon maaf, kalau boleh tahu pak Haji pakai rekening bank apa?" Tanya saya dengan tetap merendahkan suara. Sekali lagi agar beliau tidak tersinggung. "Oh, kalau saya pakai bank *********. Alhamdulillah, kemarin saya dapat hadiah dari mereka berkat kesetiaan saya sebagai nasabahnya" Jawab Pak Haji dengan bangga meneybutkan salah satu bank non-syariah. "Kalau begitu pak Haji lebih suka makan daging yang jelas-jelas babi daripada makan domba yang cuma mirip babi, he he he" Saya pun menembak pak haji dengan gurauan yang sebetulnya saya juga takut beliau marah. "Ha ha ha ha, dasar anak muda. Itu khan darurat, Dek. Khan 'Ad-dharuratu tubiihu al-mahdzuuraat'" Pak Haji tertawa seraya membela diri. "Betul Pak Haji. dalam situasi darurat memang yang haram pun menjadi halal. Tapi masalahnya, status darurat tersebut sudah gugur. Di daerah ini sudah ada lebih dari 4 bank syariah. Apalagi dekat dengan rumah pak haji. bahkan kalau pak haji mau setor dalam jumlah besar, kami siap menjemput kok. Jadi boleh khan saya ikut pengajian pak haji sambil ikut bicara tentang bank syariah ke para jamaah?" "Kamu ini memang anak muda yang bandel. Yah sudah, hari sabtu bakda ashar dan minggu pagi, adek boleh datang ke sini. Jangan lupa bawa brosur-brosurnya sekalian bawa formulir tabungan, kalau ada hadiah hiburan, boleh juga dibawa" Alhamdulillah. Saya pun mencium tangan pak haji dan pamit. "Assalamu'alaikum, Pak Haji".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H