Saat ini kita ketahui bahwa kurs Rupiah semakin merosot. Pada siang hari ini 1 USD setara dengan Rp 12,700,-. Transaksi di pasar primer hingga malam tadi 1 USD sempat menyentuh Rp 12,988,-. Menko perekonomian menyatakan bahwa depresiasi rupiah masih wajar. Kondisi ekonomi kita masih sangat kuat. Benarkah demikian ?
Dari data grafis bulanan pasar uang , terlihat bahwa Rupiah mulai tertekan pada bulan September 2011. Pada Januari 2012 tekanan semakin kuat hingga pada bulan Mei 2012 USD mulai masuk di level Rp 9,600,- atau naik Rp 1,000,- dari Rp 8,600 pada awal September 2011. Rupiah melemah  1000 point dalam 8 bulan. Kemudian mulai Juli 2013 Rupiah melemah secara lebih ekstrim hingga pada bulan Desember 2013 USD menyentuh Rp 12,275,-. Ini adalah level support kuat Rupiah dari pelemahan sebelumnya yang terjadi pada tahun 98 dan 2008. Praktis dari sejak pasca periode krisis sub prime mortgage di US ( April 2008 ), Rupiah sudah melemah secara terus menerus selama 3 tahun. Pelemahan selama 3 tahun ini tentunya tidak mungkin disebabkan oleh faktor International ( global ). Ini adalah reaksi pasar atas strategy pertumbuhan ekonomi yang mengandalkan pada sektor konsumsi.
Sejak tahun 2005 , pertumbuhan ekonomi nasional hanya mengandalkan pada konsumsi pemerintah. Memang terjadi pertumbuhan , namun efek bubble tidak dapat dihindari. Akibatnya pemerintah harus menerbitkan Surat Utang Negara dalam mata uang USD karena tidak ada negara donor yang mau memberi pinjaman. Kita sudah mengetahui bahwa pinjaman kita terhadap IMF di tahun 98 hingga saat ini bunganya masih sangat membebani APBN. Praktis setelah pemerintah mengklaim berhasil meraih kepercayaan Internasional dengan penjualan Surat Utang Negara , Rupiahpun mulai terpuruk.
Sekarang kita bisa berhitung , jika saat penerbitan Surat Utang Negara kurs USD = Rp 8,600,- , lantas berapakah kerugian kurs yang harus ditanggung pemerintah jika SUN tsb jatuh tempo saat ini ?.
Pemerintah dan masyarakat harus realistis. Kondisi perekonomian kita jauh dari kategori baik. Fundamental ekonomi kita memang buruk dari sejak masa Orde Baru hingga sekarang. Kurs mata uang adalah cermin lemahnya neraca pembayaran. Jangan percaya dengan dalih bahwa kurs USD yang tinggi akan menguntungkan ekspor. Karena logikanya , jika ekspor kita kuat maka nilai rupiahpun akan menguat. Tidak seperti sekarang yang terus menerus melemah.
Jadi , mari kita bersikap obyektif. Akui bahwa ekonomi kita buruk dan mari diperbaiki. Untuk apa kita membohongi dan membodohi diri sendiri dengan menyatakan bahwa perekonomian kita tidak bermasalah. Kita tidak akan bisa melakukan perbaikan jika tidak mau menemukan dan mengakui kesalahan. Rupiah kita adalah cermin harga diri. Apakah kita mau membiarkan Rupiah menjadi mata uang sampah ? Hidup kitapun akan selalu susah jika Rupiah lemah. Jika dihitung dari sejak krisis moneter tahun 97 bulan Agustus , maka pelemahan Rupiah sudah terjadi selama 16 tahun lebih. Cukup sudah.
Pemerintah harus segera memperbaiki fondasi ekonomi dengan mengurangi unsur  yang meningkatkan beban ekonomi. Dalam kondisi resesi seperti sekarang ini , pemerintah harus menekan anggaran belanjanya. Pangkas pos-pos biaya yang boros. Hapuskan tunjangan dan fasilitas jabatan para pejabat dan anggota parlemen. Rakyat sangat sakit jika untuk biaya rapat pemerintah saja anggarannya mencapai 40 trilliun. Kemudian jangan naikkan suku bunga hanya untuk menekan USD. Karena tidak akan ada gunanya dan hanya menambah beban masyarakat. Lalu turunkan harga premium dan solar menjadi Rp 5,000,- untuk mengurangi beban ekonomi. BBM adalah faktor penyebab utama angka inflasi meningkat. Pemerintah dapat menggali dana pembangunan infra struktur dengan pemangkasan anggaran belanja dan memperbaiki pemasukan dari pajak dan income BUMN. Pertamina dan PLN adalah BUMN yang berpotensi mengurangi beban APBN. Perbaiki kebobrokan dikedua BUMN tsb. Hasilnya pasti akan sangat membantu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H