Halo teman semua. Salam hidup sehat dan tetap semangat.
Hari Jum'at, tanggal 17 Agustus 1945, masih dalam bulan Ramadhan di mana umat Islam sedang berpuasa menahan lapar dan dahaga, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia. Proklamasi kemerdekaan Indonesia tersebut tentu saja disambut dengan sorak-sorai gembira oleh segenap bangsa Indonesia yang ingin lepas dari penjajahan bangsa asing. Proklamasi kemerdekaan Indonesia tersebut tentu saja juga menjadi pelepas dahaga dan lapar bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa dan negara yang merdeka dan berdaulat di atas keutuhan wilayahnya dari Sabang sampai Merauke.
Tapi sebagaimana biasa terjadi di mana saja, perbedaan ide atau pemikiran selalu ada, dari dulu sampai sekarang, tanpa memandang latar belakang orang. Seperti kata peribahasa 'Kepala sama hitam, pendapat berlain-lain', begitulah juga yang terjadi pada para tokoh dan elit politik pada tahun-tahun permulaan setelah proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia.
Bung Karno, Presiden Republik Indonesia yang pertama, yang sangat mencintai persatuan dan kesatuan bangsa, pasti tahu ada tulisan Bhineka Tunggal Ika pada pita yang dicengkeram kedua kaki burung Garuda Pancasila yang menjadi Lambang Negara Republik Indonesia. Para tokoh dan elit politik bangsa pada saat itu pasti juga tahu arti dan makna dari frasa kalimat Bhineka Tunggal Ika itu. Tetapi ketika kepentingan diri atau golongan diletakkan pada tempat yang lebih tinggi dari kepentingan bangsa, maka pertengkaran di antara para pemimpin bangsa sangat dimungkinkan untuk terjadi.
Sebagaimana dilansir dari liputan6.com, Bung Karno menjadi risau ketika perbedaan-perbedaan ide atau pemikiran yang terjadi di antara para tokoh dan elit politik justru menjurus kepada pertengkaran-pertengkaran yang membuat situasi politik menjadi tidak sehat. Terjadi gejala-gejala dis-integrasi bangsa. Para tokoh dan elit politik tidak mau berdialog dalam satu forum. Persatuan dan kesatuan bangsa terancam. Apalagi, kita sama-sama bisa ketahui juga bahwa akhirnya pada tahun 1948 itu terjadi pemberontakan PKI yang ingin mengganti ideologi Pancasila sebagai dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Melihat situasi politik yang tidak sehat itu, maka pada pertengahan bulan Ramadan pada tahun 1948, Bung Karno sebagai Presiden Republik Indonesia mengundang KH Wahab Chasbullah, salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama, untuk datang ke Istana Negara dan berdiskusi dengannya tentang situasi politik yang tidak sehat pada saat itu.
KH Wahab Chasbullah menyarankan untuk mengadakan silaturahim, apalagi umat Muslim disunahkan bersilahturami pada saat Idul Fitri. Tapi Bung Karno mengatakan bahwa silaturahmi itu adalah hal yang biasa, dari tahun ke tahun bersilaturahmi terus tapi para tokoh dan elit politik bertengkar terus.
Ketika Bung Karno menanyakan apa ada istilah lain yang bisa digunakan selain silaturahmi, maka dengan cepat Kiai Wahab memberikan sebuah saran yang membuka pikiran Bung Karno. Saran dari Kiai Wahab itu bagaikan sebuah sinar yang menerangi kegelapan yang sepertinya sudah lama mengurung pikiran Bung Karno. Bung Karno merasa tercerahkan oleh saran dari Kiai Wahab itu.
"Begini. Jadi, masalahnya elit politik itu tak mau bersatu karena saling menyalahkan. Padahal, saling menyalahkan itu 'kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk salling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturahmi nanti kita pakai istilah 'halalbihalal'," saran Kiai Wahab.
Akhirnya, saat hari raya Idul Fitri 1948 itu Bung Karno mengundang semua tokoh dan elit politik untuk datang ke Istana Negara bersilaturahmi. Acara itu bertajuk 'Halalbihalal'. Dan sejak saat itu, bukan hanya Presiden Soekarno yang mengadakan acara halalbihalal setiap tahunnya, tapi umat Muslim di Jawa, dan bahkan meluas sampai ke seluruh Indonesia, mengadakan halalbihalal saat Hari Raya Idul Fitri dari tahun ke tahun sampai sekarang.
Tapi pertanyaannya, bagaimana melakukan halalbihalal pada saat pandemi? Prinsipnya ingat Prokes 5 M: