“Setiap tulisan merupakan dunia tersendiri yang terapung-apung antara dunia kenyataan dan dunia impian”. Begitu Pramoedya Ananta Toer (PAT) mendeskripsikan makna tulisan versi dia. Kemudian dia melanjutkan, “Menulislah sedari SD. Apa pun yang ditulis sedari SD pasti jadi”. Kalau saya ingin menyambung ungkapan PAT tadi, maka saya pun akan mengatakan seperti ini, “Tulisan saya sewaktu SD adalah ini Budi, ini ibu Budi dan ini ayah Budi”. Korelasi dari itu semua adalah bahwa menulis itu ada aturannya. Semua tata bahasa harus berpedoman pada Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) sebagai payung aturan dalam menulis, sehingga tata bahasa kita sesuai EYD. Kalau sudah begitu, maka konstruksi tulisan kita akan mengandung unsur budi pekerti, mendidik dan dapat menginspirasi pembaca. Nah, kali ini si Penulis lebih spesifik mengupas tentang cara penulisan HUT.
Dalam berbagai perayaan Hari Ulang Tahun (HUT), baik yang sifatnya personal maupun kelembagaan, seringkali kita menjumpai penulisan HUT yang salah kaprah dan terkesan ambigu di hadapan pembaca. Bagi masyarakat awam, penulisan HUT mungkin tidak terlalu penting. Salah pun tulisannya tak mengapa karena bukan pelanggaran hukum. Nah, bagaimana dengan orang yang kemampuan menulisnya di atas rata-rata dari kita sebagai orang yang kadang tidak peduli dengan penulisan yang “menyimpang” dari EYD? Ambiguitas terkadang menyimpan misteri dan seolah tak pernah ingin diluruskan. Meluruskan kekeliruan menulis yang membelenggu karena kemalasan kita membaca dan membuka kamus. Padahal dalam tata bahasa ada frame yang semestinya tidak boleh kita labrak.
Banyak contoh penulisan yang jauh dari kesempurnaan dan tidak mengikuti kaidah dalam EYD. Kenapa kita harus ikut “fatwa” EYD? Karena EYD digunakan untuk menyempurnakan karya tulis kita. Misalnya bagaimana menempatkan awalan dan akhiran secara tepat dan benar. Bagaimana memisahkan dan menyambungkan kata depan. Bagaimana menulis judul yang baik dengan menggabungkan huruf kapital dan kecil. Bagaimana membedakan antara singkatan dan akronim.
Serta yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana EYD digunakan pada penulisan angka.
Michel Foucalt, seorang filsuf ber-mahzab Post-strukturalis, pernah mengatakan bahwa bahasa merangkum pengetahuan tentang dunia, maka tidaklah keliru kalau saya juga mengatakan bahwa dengan menulis, dunia dalam genggaman kita. Pertanyaannya, tulisan seperti apa yang layak untuk kita bagi ke dunia jika dalam tulisan itu tata bahasanya berantakan? Nah, pada tulisan kali ini, saya ingin sedikit berbagi soal yang terakhir, yakni bagaimana EYD digunakan pada penulisan angka. Berbicara tentang tulisan HUT, sudah pasti kita akan berbicara tentang angka-angka.
Sepintas persoalan ini dianggap kecil alias sepele. Tak ada yang peduli, sehingga pembiaran demi pembiaran jamak terjadi dalam penulisannya. Kalau mata sudah terhipnotis dengan tulisan yang huruf dan angkanya dipercantik dengan “dandanan” ala photoshop dan coreldraw, maka yang keliru pun akan menjadi benar. Seorang Kompasianers bernama Ninoy Karundeng mengatakan, kesalahan kecil yang dianggap tidak penting menunjukkan kepribadian seseorang, termasuk dalam penulisan, karena sesungguhnya bahasa itu menunjukkan siapa diri kita.
Sebentar lagi Luwu Utara, sebuah daerah kabupaten yang terbentuk pada 1999 silam, akan merayakan hari jadinya yang ke-17. Angka 17 tahun seringkali diidentikkan dengan sweet seventeen. Sebuah fase paling indah dalam sejarah perjalanan hidup seseorang atau perjalanan pemerintahan sebuah daerah. Tentu dalam merayakan HUT, berbagai tulisan ucapan selamat akan bertebaran di mana-mana, baik itu lewat spanduk, baliho, ex-banner, poster, termasuk tentunya ucapan selamat yang ber-seliweran di media-media sosial seperti facebook. Saatnyalah orang per orang, dan berbagai komunitas lainnya akan mengaktualisasikan dirinya melalui media-media tersebut. Kapan lagi kalau bukan saat ini? Sekarang kan fase terindah.
Pertanyaan selanjutnya, sudah tepatkah penulisan HUT yang wira-wiri di media yang saya sebut tadi? Tak jarang kita menjumpai penulisan yang menciptakan ambigu, alias bermakna ganda. Ambil contoh tulisan berikut ini: HUT Luwu Utara yang ke-17. Padahal ini keliru. Tulisan tersebut bisa berarti bahwa ada Luwu Utara yang kesatu, kedua sampai ke-17, padahal Luwu Utara itu cuma satu. Tulisan yang tepat adalah HUT ke-17 Kabupaten Luwu Utara. Contoh lain adalah ketika kita memakai angka romawi. Tulisan berikut ini juga jelas keliru: HUT Ke-XVII Luwu Utara. Padahal sejatinya penggunaan angka romawi sudah bermakna “ke-”. Contoh: I, II dan III dibaca kesatu, kedua dan ketiga. Jadi, yang tepat adalah HUT XVII Kabupaten Luwu Utara.
Ada lagi yang ingin tampil sedikit keren dengan menggunakan bahasa sansekerta, yakni memakai kata “Dirgahayu”. Namun lucunya terkesan ambigu juga. Contoh: Dirgahayu HUT XVII Luwu Utara. Dirgahayu artinya panjang umur. Jika kita padupadankan dengan kalimat tadi, maka artinya seperti ini: Panjang Umur HUT ke-17 Luwu Utara. Contoh yang benar adalah Dirgahayu Kabupaten Luwu Utara. That’s enough. Penulis tidak bermaksud menggurui, hanya sekadar meluruskan apa yang diketahui penulis saat menimba ilmu di bangku sekolah. Ungkapan bahwa bahasa itu dinamis, serupa bayi yang terus bergiat untuk tumbuh dan berkembang, maka kita pun seperti bahasa yang selalu bergerak dinamis dan terus tumbuh dan berkembang. (Lukman Hamarong)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H