Saban hari, di siang bolong, di saat sinar matahari begitu liar memangsa kulit-kulit manusia yang berjalan kaki, mata ini tak pernah lelah menatap dan memerhatikan, bukan cuma satu, tetapi dua, tiga, bahkan empat orang penjual mainan anak-anak, berdiri sambil bersimbah peluh di perempatan lampu merah.menjajakan barang mainannya dengan harapan ada pengendara yang sudi membeli barang mainannya.
Sungguh saya terkesima melihat mereka. Berjuang demi sesuap nasi, mungkin. Demi keluarganya, mungkin. Hingga suatu hari, saya singgah dan membeli jualan mereka untuk anak-anak saya di rumah. Mata saya berkaca-kaca, kala saya memberikan uang Rp 30 ribu. Dengan wajah senang, dia mengambil uang itu, dan berucap terima kasih kepada saya.
Keringat mereka, usaha mereka, sungguh sangat mulia dalam mencari uang, ketimbang para pejabat di ruangan ber-AC, dengan pakaian rapi dan necis. Sudah bergaji tinggi, tapi masih tega menggerogoti uang rakyat.
Ya ALLAH, bantu mereka, kuatkan mereka, agar kelak mereka bersama para RasulMu di surga. MatahariMu yg memancarkan sinar yang begitu panas bukan penghalang untuk berjuang mencari nafkah. Mereka bermandi keringat, tak peduli legamnya tubuh menjadi konsekuensi logis dari perjuangan mereka. Itulah sejatinya sebuah pekerjaan yang lebih jelas keringatnya. Mandi keringat, sabunnya adalah uang. (Lukman Hamarong)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H