Ilustrasi Kompasiana / kompas.com Jika ingin tahu siapa juara Liga Champions, maka lihatlah siapa tim yangmenyingkirkan Barcelona di babak semifinal. Boleh percaya, boleh tidak. Namun, keunikan berbau mitos ini sudah berlangsung sejak musim 2007-2008. Sepertinya Barcelona menjadi sebuah magnet di panggung Liga Champion. Jika ingin juara, maka harus melawan Barca di semifinal dan mengalahkannya. Jika misi itu tidak berhasil, maka Barca-lah yang akan memenangi The Big Ear alias “Si Kuping Besar”.
Coba kita analisa rangkaian cerita unik yang dilahirkan dari sebuah kompetisi mewah sekelas Liga Champion. Sebelumnya saya minta maaf, karena mengajak pembaca untuk terjebak di zona percaya dan tidak percaya terhadap sebuah mitos. Bahwa saya membenci mitos, memang iya. Namun, kenapa tulisan ini muncul? Salah satu motivasi saya adalah untuk menambah khasanah pengetahuan kita terhadap hal-hal unik yang kerap tercipta di sepak bola. “Ajang sekelas Liga Champions Eropa selalu mengundang sebuah kutukan”. Begitu Presiden UEFA, Michel Platini pernah berkata.
Bukan sepak bola namanya jika tidak melahirkan cerita unik yang dianggap seperti mitos. Salah satu cerita mitos di Liga Champion adalah belum ada satu pun klub yang sanggup juara dua kali secara berturut-turut, sejak kompetisi ini berubah format menjadi Liga Champion Eropa. Silahkan dicari, dan mesin pencari sekelas google pun takkan sanggup mendapatkannya. Hehehe.... Manchester United (MU), Barca dan Bayern Munich pun selalu gagal, meski selalu ada peluang untuk memutus cerita mitos tersebut.
Nah, kita kembali ke mitos “KONSEKUENSI MENGALAHKAN BARCA DI SEMIFINAL ADALAH JUARA”.. Mitos ini mulai berlaku sejak musim 2007-2008. Klub pertama yang mendapat “rejeki” dari mitos itu adalah MU. Keberhasilan MU mengalahkan Barca denganaggregat 1-0 di semifinal musim itu berbuah gelar juara bagi Cristiano Ronaldo dkk setelah di final sukses mengandaskan perlawanan Chelsea lewat drama adu penalti, setelah di waktu normal bermain seri 1-1. Final kala itu diwarnai sebuah kejadian di mana saya melompat tinggi sambil berteriak “yess” ketika tendangan penalti CR7 gagal menembus gawang Peter Cech. Parahnya, saya melompat secara tiba-tiba, tanpa menyadari kalau ada mertua di samping saya. Hehehe...
Lanjut ke musim 2008-2009. Mitos berhenti sejenak karena magnet Barca begitu kuat di musim tersebut. Tak ada yang mampu mengalahkan Barca hingga partai puncak. Barca-lah yang keluar sebagai juara setelah di final melumat MU 2-0. Final ini ditandai gol unik dari Lionel Messi. Meski bertubuh pendek, tapi ia mampu menciptakan gol lewat sundulan cantik yang mampu mengecoh Edwin Van der Sar. Gol cantik menjadi menarik ketika Messi merayakannya dengan unik pula. Sambil melepas sepatunya, dia berlari ke sisi lapangan sambil mencium sepatu miliknya. Gol cantik, sundulan ciamik, dan selebrasi unik yang melegenda. Wow, kereeen.....
Di musim 2009-2010, mitos kembali hadir menyapa pemirsa. Pelakunya adalah klub heroik dari Negeri Pizza, Inter Milan. Di musim ini pula, sepak bola “parkir bus” mengangkasa dan menjadi bahan perdebatan, baik di dunia maya maupun dunia nyata. Lewat permainan bertahan yang rapat, Inter mampu menyingkirkan Barca di semifinal dengan skor agregat 2-0. Jose Mourinho menjadi “terdakwa” utama tersingkirnya Barca karena memeragakan “sepak bola negatif”. Namun, di situlah kelebihan Mou, karena lewat gaya anti sepak bola pulalah, Inter mampu mengalahkan Munich 2-0 di final. Mou dicaci, sekaligus dipuji....
Musim 2010-2011, magnet Barca bersama bintang terangnya, Messi, kembali begitu kuat. Tidak ada klub yang mampu menciptakan mitos seperti yang dilakukan MU dan Inter karena Barca yang keluar sebagai jawara setelah di final melumat MU dengan skor cukup telak, 3-1. Pada momen ini, cerita menarik tetap muncul. Messi, Villa dan Pedro membentuk trisula maut lewat parade gol yang mereka ciptakan di final. Lahirlah istilah Trio MVP yang mengacu dari nama mereka bertiga. Jempol untuk mereka....
Nah, rantai mitos sempat menjadi tali-temali, kini menyambung tanpa putus, dan mulai terjadi di musim 2011-2012, seiring mandeknya aura gemilang Barca. Pada musim tersebut, Chelsea membuat cerita mitos berlanjut. Lewat kemenangan agregat 3-2 atas Barca di semifinal, The Blues keluar sebagai kampiun setelah menekuk Munich di final lewat kemenangan “arisan”. Cerita menarik yang bisa saya bagi untuk kompetisi di musim tersebut adalah Pelatih Roberto Di Matteo menjelma seperti Mourinho di laga semifinal. Satu peluang satu gol, yang menjadi pembeda lolosnya Chelsea ke final. “Terdakwa” utamanya bukan lagi pelatih, melainkan Fernando Torres, si pemain.
Kita melangkah ke musim 2012-2013. Di musim tersebut kejadian luar biasa tercipta di semifinal. Entitas yang membungkus cerita mitos di musim itu, yang mengalahkan mitos itu sendiri, adalah inferiornya Barca di hadapan Munich di semifinal. Menyandang status unggulan karena keterlibatan trio magisnya (Messi, Xavi dan Iniesta), Barca malah ambruk, kandan-tandang. Skor pun “tidak manusiawi” untuk klub berprofil tinggi seperti Barca, 0-4 dan 0-3. Munich melangkah gagah ke final. Amat mudah ditebak hasil finalnya yang mempertemukan Munich kontra Borussia Dortmund. Tanpa kesulitan Munich keluar sebagai jawara di musim tersebut.
Nah, sebentar malam atau pagi dini hari nanti, Atletico Madrid mencoba menapaktilasi perjuangan MU, Inter, Chelsea dan Munich agar mitos magnet Barca terus berlanjut. Dengan mengalahkan Barca di semifinal lewat agegat tipis, 2-1, maka semakin kuat pula arah angin kemenangan menerpa Atletico guna memupus proyek ambisius Madrid, La Decima. Tentu Madrid akan berupaya sekuat tenaga untuk membuktikan bahwa mitos itu bukan sesuatu yang harus dipercaya. Bahwa mitos itu tidak mengandung kebenaran, maka wajib hukumnya Madrid menghentikan “kutukan” magnet Barca di semifinal. Namun, ketika “kutukan” ini masih berlanjut, maka secara tidak langsung Barca “berkontribusi” memupus kampanye La Decima Madrid. Akankah Madrid “tersandera” mitos tersebut? Atau Atletico yang akan mengalami anti klimaks di Lisabon? Menarik kita tunggu. (Lukman Hamarong)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H