Mohon tunggu...
Lukman Hamarong
Lukman Hamarong Mohon Tunggu... Administrasi - Sangat sulit menjadikan aku seperti kamu, karena aku adalah aku, kamu ya kamu

Mengalir seperti air

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

PENAS XV: Simbol Kebhinnekaan dan Pesan Kenyamanan dari Rakyat Aceh

15 Mei 2017   19:33 Diperbarui: 15 Mei 2017   19:40 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peserta dari Luwu Utara Berfoto dengan Peserta dari Papua

Pekan Nasional (Penas) XV Petani-Nelayan yang baru saja dihelat di Provinsi Aceh selama sepekan, 6 – 11 Mei 2017, meninggalkan sejuta cerita dan kenangan yang indah. Boleh jadi Penas XV di Aceh ini menjadi Penas terbesar yang pernah ada, karena tidak kurang 35.000 peserta dari kalangan petani, nelayan, dan unsur pemerintah, ikut memeriahkan pertemuan akbar tiga tahunan tersebut. Mulai dari ujung timur Merauke sampai ujung barat Sabang, dari daratan sampai ke pesisir, dari pegunungan sampai ke pedalaman. Semuanya berkumpul pada satu titik lokasi bernama, Banda Aceh, ibukota Provinsi Aceh, yang notabene adalah tempat di mana Syariat Islam diterapkan.

Mereka berdiskusi, bermusyawarah, saling bertukar ilmu, menyaksikan kemajuan teknologi pertanian, membahas sejuta problema di sektor pertanian, serta mencari solusi dengan membangun kebersamaan dan kekompakan guna mencapai progress yang diinginkan bersama. Nampak jelas terbina sebuah harmonisasi, meski mereka berbeda suku, agama, budaya dan adat istiadat. Namun perbedaan itu tidak menciptakan wahana polarisasi, melainkan sebagai wahana saling melengkapi satu sama lain. Inilah kebhinnekaan yang diinginkan The Founding Father’s kita dalam memaknai Bhinneka Tunggal Ika, berbeda tetapi tetap menjunjung tinggi kebersamaan.  

Saat Aceh dipilih menjadi tuan rumah Penas XV, bayangan ketakutan seketika muncul di permukaan. Bukan tanpa sebab jika bayangan itu muncul, karena menjadi rahasia publik jika Aceh merupakan daerah yang rawan konflik seperti yang kita saksikan di berbagai media. Namun, segala ketakutan itu sirna begitu kontingen Penas dari seluruh daerah menginjakkan kakinya di Tanah Rencong. Rupanya kengerian yang ditampilkan media tidak seekstrim kenyataan. Tak ada kengerian, tak ada ketakutan, yang ada hanyalah kenyamanan, kedamaian, dan keindahan Aceh sebagai sebuah wilayah yang dipenuhi estetika infrastrukturnya, eksotisme alamnya, serta kelezatan kulinernya.

Melalui Penas XV, Aceh telah memberikan sinyal kenyamanan dan memancarkan radar kedamaian. Itu bukti bahwa Penas adalah ajang silaturahmi akbar antarpetani, antaragama, antarsuku, antargolongan, dan antarbudaya. Manusia dari seluruh penjuru nusantara akan melihat Penas di Aceh sebagai upaya menangkap chanel tersebut. Dan Gubernur Aceh Zaini Abdullah saat memberikan sambutan di acara pembukaan dan penutupan selalu menegaskan bahwa Aceh adalah daerah yang aman dan nyaman untuk dikunjungi. “Selamat menikmati kedamaian dan keramahtamahan rakyat Aceh. Saya berharap setelah bapak/ibu kembali dari Aceh bisa menjadi duta promosi bahwa Aceh saat ini sungguh damai dan aman serta nyaman untuk dikunjungi,” ujar Zaini di acara Pembukaan PENAS.

Pun saat acara Penutupan. Gubernur Zaini kembali menegaskan pesan kenyamanan dan kedamaian kepada para peserta. “Kami masyarakat Aceh sangat berbahagia karena tidak ada satu daerah pun yang absen untuk datang ke Tanah Aceh. Ini menunjukkan bahwa Aceh adalah daerah yang sangat aman untuk didatangi. Tidak seperti pandangan awal sebelum ke Aceh bahwa Aceh adalah daerah yang tidak aman dan nyaman. Terbukti, tidak kurang dari 38 ribu peserta yang datang ke Aceh adalah tanda bahwa Aceh merupakan tempat yang aman dan nyaman untuk dikunjungi,” tegas Zaini lagi.

Kita yang masih sibuk mengibas-ngibaskan tenun kebhinnekaan seharusnya malu pada Rakyat Aceh yang begitu menghormati segala perbedaan. Cerita tentang Ahok tidak menjadi bahan diskusi yang masif, tidak menjadi materi perdebatan di warung-warung kopi. Tidak menjadi bahan olok-olokan untuk menyerang etnis tertentu. Aceh menjadi daerah yang ramah dalam kebhinnekaan. Warung Kopi di Aceh memang menjamur. Di sisi kiri dan kanan selalu ada warkop yang mengapit badan jalan. Semakin larut,  warkop semakin ramai pengunjung, jalanan semakin padat kendaraan. Warkop berubah menjadi tempat istimewa untuk berdiskusi mencari solusi. Menariknya, tak ada diskusi tentang perbedaan, semua tentang kebersamaan.

Jadi jangan heran ketika kota yang dijuluki Kota Sejuta Warung Kopi itu selalu menjadi magnet untuk berbagi cerita tentang masa depan, tentang harapan Rakyat Aceh untuk hidup rukun dan damai. Aceh yang menjadi tuan rumah telah menjadikan momentum Penas untuk memancarkan radar kenyamanan. Dan kita yang masih sibuk menebar kebencian, malah terkuras dengan segala syak wasangka. Energi habis untuk menebar kebencian. Dan kebaikan hanya disimpan tanpa ditebar. Ataukah mungkin kita tak punya amunisi kebaikan, sehingga yang ada hanyalah kebencian. Terima kasih Aceh yang sudah menginspirasi kami. Sesuai pesan Gubernur yang menginginkan kami menjadi duta promosi Aceh, maka lewat tulisan ini pesan itu saya sampaikan ke pembaca. (Lukman Hamarong)


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun