Mohon tunggu...
Lukman Hamarong
Lukman Hamarong Mohon Tunggu... Administrasi - Sangat sulit menjadikan aku seperti kamu, karena aku adalah aku, kamu ya kamu

Mengalir seperti air

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dzikir yang Tertukar

4 Agustus 2016   16:33 Diperbarui: 4 Agustus 2016   16:41 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Subhanallah, cantiknya. Tulisku dalam sebuah lapak facebook milik akun seorang wanita berjilbab kira-kira dua tahun yang lalu. Foto yang dia unggah memang sungguh memesona bagi siapa saja yang memandangnya. Dia pun membalas komentarku, “kok Subhanallah?” Saya pun dengan sok tahu langsung memberi tanggapan. Kalau tidak salah, saya menulis seperti ini, “Maha Suci Allah yang menciptakan makhluk secantik dalam foto itu”. Selanjutnya tidak ada lagi tanggapan darinya.

Saya pun tertegun beberapa jenak, sambil membaca kembali balasan komentar darinya. Apa iya saya keliru mengucapkan subhanallah pada keanggunan wajah dan busana muslimahnya? Saya pun mencari jawaban dari rasa penasaranku itu. Lewat bantuan mbah google, saya mencari tahu seperti apa kalimat thayyibah itu digunakan. Maka terjawab sudah bahwa saya keliru menempatkan kalimat Subhanallah itu. Jika seandainya saya menulis Masya Allah, mungkin dia akan menulis terima kasih.

Penggunaan ‘Masya Allah’ bisa kita baca di Surah Al Kahfi; 39. “Dan mengapa kamu tidak mengucapkan tatkala kamu memasuki kebunmu, ‘Maasya Allah laa quwwata illa billah‘ (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Sekiranya kamu anggap aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan?” (QS. Al-Kahfi: 39). Ayat ini menjelaskan bahwa semua keindahan yang diwakilkan pada indahnya kebun dan bunga-bunga terjadi atas kehendak Allah.

Selang beberapa tahun kemudian, tepatnya seminggu yang lalu, seorang teman facebook mengunggah sebuah foto seorang polisi melaksanakan salat di atas bebatuan dan di antara rerimbunan ilalang. Kolom komentar pun langsung padat merayap dengan ungkapan ‘Subhanallah’. Ungkapan kekaguman netizen tersebut adalah gambaran betapa kita, termasuk saya tentunya, masih sering salah kaprah atas penggunaan ungkapan Subhanallah dan Masya Allah.

Dari abu Hurairah, ia berkata: "Suatu hari aku berjunub dan aku melihat Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam berjalan bersama para sahabat, lalu aku menjauhi mereka dan pulang untuk mandi junub. Setelah itu aku datang menemui Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam. Beliau bersabda: "Wahai Abu Hurairah, mengapakah engkau malah pergi ketika kami muncul?" Aku menjawab: "Wahai Rasulullah, aku kotor (dalam keadaan junub) dan aku tidak nyaman untuk bertemu kalian dalam keadaan junub. Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Subhanallah, sesungguhnya mukmin tidak najis." (HR. Tirmizi)

Yang menjadi pertanyaan saya, kenapa ungkapan “Masya Allah” tak dilirik sama sekali atas rasa takjub pada aksi polisi tadi? Jawaban atas pertanyaan itu adalah karena ungkapan Masya Allah terkadang kita maknai sebagai ungkapan ketika melihat yang buruk-buruk. Tertukarnya kalimat dzikir memang mungkin menjadi bawaan sejak kita kecil. Saya pun demikian, tetapi sebagai makhluk yang diciptakan Allah yang dilengkapi dengan akal, maka sudah sepatutnya kita menggunakannya untuk berpikir, menelaah, mencerna, dan mencari tahu kebenaran sesungguhnya atas sesuatu yang ganjil.

Saya mengangkat bahasan ini berangkat dari kekeliruan saya dua tahun sebelumnya. Karena saya keliru, maka wajib saya meluruskan kembali apa yang telah saya ketahui supaya kita sama-sama tahu dan tidak ada lagi yang tertukar seperti yang jamak terjadi sampai saat ini. Haji Rhoma Irama dalam lagunya selalu mengucapkan ‘Masya Allah’ ketika memuji dan menyanjung Si Ani. "Sempurna Tuhan menciptakan dirimu yang tiada cela, Masya Allah...."

Ucapkan ‘Masya Allah’ kalau kita kagum dan ucapkan ‘Subhanallah’ jika melihat keburukan. Lalu, apakah kita berdosa karena mengucapkan Subhanallah, padahal seharusnya Masya Allah dan sebaliknya? Insyaa Allah tidak. Allah Maha Mengerti maksud perkataan hamba-Nya. Hanya saja, setelah tahu, mari kita ungkapkan dengan tepat antara Subhanallah dan Masya Allah. Wallahu a’lam bish-shawabi. Begitu ustadz Muhammad Arifin Ilham menyarankan kepada kita semua.

Jika ada kata dan kalimat yang salah itu datangnya dari pribadi yang menulis, maka jangan salahkan tulisan ini, tapi salahkan penulis yang menulis coretan ini. Jika ada kata dan kalimat yang benar dalam tulisan ini, maka itu datangnya dari Allah SWT yang kebetulan saja melalui tangan si penulis. Dan tidak penting menghargai si penulis, tapi hargailah kebenaran yang disampaikan dalam tulisan ini. Indahnya berbagi. (Lukman Hamarong)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun