Mohon tunggu...
Lukman Hamarong
Lukman Hamarong Mohon Tunggu... Administrasi - Sangat sulit menjadikan aku seperti kamu, karena aku adalah aku, kamu ya kamu

Mengalir seperti air

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memenuhi Undangan Petani atau Mengantar Anak di Hari Pertama Masuk Sekolah

18 Juli 2016   19:13 Diperbarui: 19 Juli 2016   09:33 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penuhi undangan petani di saat hari pertama masuk sekolah (Dok. Pribadi)

Anak adalah permata hati yang kemilaunya memancarkan kebahagiaan, sekaligus cahaya mata yang menerangi jiwa-jiwa yang gelap. Anak wajib dibahagiakan, dibuat selalu tersenyum, tak boleh ditelantarkan. Anak pun harus diperhatikan segala keinginan dan kemauannya demi menunjang masa depan yang gemilang. Bagi saya sebagai orang tua, anak adalah bintang di rumah. Apa guna menjadi bintang di kelas kalau di rumah bintang-bintang itu malah cenderung meredup. Betapa penting peranan orang tua dalam membentuk hati dan membangun jiwa sang anak agar tetap kokoh dan tak meredup sepanjang waktu. Jalan hidup memang tak panjang, tapi bukan berarti  jalan sang anak untuk sukses fiddunya wal akhirah terpangkas oleh ketidakmampuan orang tua membangun karakter anak yang kuat menghadapi segala tantangan ke depan.

Hari ini, Senin, 18 Juli 2016, tepatnya di pagi hari tadi, jutaan anak sekolah di  seluruh penjuru tanah air kembali masuk sekolah. Ajakan pemerintah agar para orang tua mengantar anaknya ke sekolah di hari pertama masuk sekolah adalah sebuah langkah super, mengingat persoalan antar-mengantar anak ke sekolah terkadang dijadikan sebuah pekerjaan remeh temeh oleh segilintir orang tua. Malah beberapa di antaranya menyewa tukang ojek untuk mengantar anaknya ke sekolah, bahkan ada yang digaji per bulan. Pokoknya yang penting sampai dan pulang dengan selamat. Padahal sungguh pun anak mau diojek, tetapi sejatinya dia pasti akan lebih tersenyum jika orang tuanya yang mengantarkannya langsung ke sekolah.

Tadi malam, 17 Juli 2016, di saat saya asyik menulis di depan laptop, anak perempuanku yang akan masuk sekolah dengan ruang kelas baru (kelas 4) mendekatiku pelan. Dia memelukku, sembari membisikkan sesuatu di telingaku. Saya pun kaget. Kegiatan menulis di depan laptop sejenak kuhentikan. “Ayah, antar ka besok ke sekolah,” Begitu bisikan yang masuk ke telingaku. Saya pun menjawab singkat, “Iye nak, insya Allah.” Mendengar jawabku, dia pun kembali masuk ke kamarnya dengan senang sembari merapikan buku-buku tulis barunya. Adiknya, yang juga akan bersekolah di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) tak jauh dari rumah mertua, ikut menyusul mendatangiku sembari membawa tas baru berwarna merah menyerupai mobil. Tujuannya berbeda dari kakaknya. Sang adik hanya ingin memamerkan tas barunya yang ia beli di Makassar  tempo hari.

Pagi yang ditunggu pun tiba. Sang kakak usai salat subuh langsung bergegas ke kamar mandi. Pun adiknya sembari membawa mobil mainannya untuk ikut dimandikan. Semua pada mandi dan gosok gigi. Saya pun tak mau kalah. Saya juga ikut mandi di kamar mandi depan. Saat asyik bergayung-ria, terdengar lagu Noah berjudul “Seperti Kemarin” dari Smartphone yang saya letakkan di lemari tidak jauh dari kamar mandi. Kegiatanku di dalam kamar mandi saya lanjutkan kembali hingga selesai setelah diam sejenak. Keluar dari kamar mandi, kuambil handphone-ku yang katanya cerdas. Kubuka pelan, dan melihat siapa yang barusan memanggil. Dan ternyata seorang petani di wilayah kerjaku yang menelpon barusan. Sebelum berpakaian, saya pun balik menelponnya. Singkat cerita, saya mendapat undangan pertemuan kelompok tani, pagi jam 08.00 wita. Untuk tidak mengecewakan, saya jawab insya Allah.

Saya pun bingung, perasaan campur aduk seperti gado-gado. Saya dipaksa harus memilih antara memenuhi undangan petani atau mengantar anak ke sekolah. Jika saya mengantar anak ke sekolah terlebih dahulu, sudah pasti saya akan terlambat hadir di kelompok tani mengingat perjalanan yang membutuhkan waktu kurang lebih setengah jam untuk sampai di lokasi. Akhirnya saya harus memilih salah satunya. Dengan langkah pelan kuhampiri sang kakak, dan kuberkata, “Maaf nak, saya tak bisa mengantarmu ke sekolah, saya harus cepat-cepat berangkat kerja. Biar ibumu yang mengantarkanmu ke sekolah.” Sang kakak pun mengangguk tanda setuju, meski mungkin saja ia sedikit kecewa.

Anak penting, nasib petani juga penting. Tapi di sinilah letak ujian sesungguhnya antara suami dan istri, antara ibu dan ayah. Kerja sama yang baik, sebagaimana baiknya kerjasama Trio MSN di sepak bola, memang sangat dibutuhkan. Pesanku, jangan pernah berhenti untuk menciptakan senyum. Senyum tercipta jika keinginan dan harapan terpenuhi. Di satu sisi, saya menjaga senyum petani untuk terus mengembang. Di sisi lain anak saya tetap tersenyum karena ibunya anak-anak mampu menjalin komunikasi yang baik dan menciptakan kolaborasi yang indah, sehingga sang anak tetap terhibur dengan indahnya kerjasama orang tuanya. (Lukman Hamarong)


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun