Ini soal sepak bola. Bukan soal Pilpres yang sudah jelas hasilnya.Bukan juga soal ISIS yang dimusuhi banyak pihak. Bukan pula soal fenomena Jilboobs yang kian digemari wanita modern meski menyalahi kriteria syar’i. Lagi-lagi ini soal sepak bola. Bulan Agustus adalah awal dimulainya musim kompetisi domestik di berbagai negara, khususnya di liga-liga top Eropa. Liga Prancis dan Belanda sudah membuka tirai kompetisinya pekan lalu. Liga Inggris menyusul pekan ini. Namun, coretan saya kali ini bukan soal musim 2014/2015, melainkan musim kemarin, 2013/2014, yang menurut saya menarik, dramatis, penuh keanehan dan keunikan, khususnya Liga Inggris atau English Premier League (EPL).
Keanehan, keunikan, dan dramatis memang selalu akrab di sepak bola. Bukan sepak bola namanya jika tidak melibatkan sesuatu yang aneh, unik dan cenderung di luar akal sehat. Klub besar terkadang inferior di hadapan klub kecil. Pun sebaliknya, klub kecil kerap superior di hadapan klub besar. Pemain besar acapkali melakukan tindakan bodoh di lapangan. Namun, tidak sedikit pemain kecil melakukan hal besar di luar sepak bola. Ini lumrah, karena sepak bola bukan matematika, bukan ilmu pasti. Sepak bola adalah keniscayaan, bukan mitos, apalagi cerita berbau mistik. Sepak bola penuh intrik. Sepak bola itu indah jika dimaknai sebagai hiburan, sekaligus “menyeramkan” jika dimaknai sebagai hal yang berbau pragmatisme, dan menganggapnya oportunis.
Sebuah catatan pinggir musim kemarin coba saya hadirkan ke hadapan pembaca, sekaligus pengantar minum kopi sebelum sepak mula EPL musim 2014/2015 dilakukan pekan ini. Kenapa EPL? Karena pada musim kemarin, kompetisi paling mewah di benua biru itu harus mengakhiri musimnya dengan penentuan juara hingga pekan pamungkas. Seperti yang sudah kita ketahui, Liga Inggris dikuasai Manchester City setelah pada pekan terakhir menundukkan West Ham dengan skor 2-0. Pencapaian itu terasa indah karena gelaran pekan pamungkas berlangsung di rumah mereka, Stadion Etihad. Di saat bersamaan, Liverpool, yang masih menjaga asa juara, harus puas di posisi runner-up, meski di pekan pamungkas juga menang 2-0 atas Newcastle. Selisih dua poin dari The Redssudah cukup menahbiskan City sebagai tim terbaik negeri Ratu Elizabeth itu.
Pesta pun tersaji dengan riuh-rendah suara suporter di dalam stadion berkapasitas 47.500 penonton itu. Sedikit lebih kecil dari Stadion Old Trafford, tapi suara suporter lebih bergemuruh ketimbang tetangganya, Manchester United, si empunya stadion tersebut. MU harus mengakhiri salah satu musim terburuk mereka dengan berbagi satu angka dengan Southampton. Maka semakin sahih saja ungkapan sarkasme Alex Ferguson (Eks Pelatih MU) bahwa City adalah tetangga yang sangat berisik alias gaduh.
Yang menjadi catatan saya adalah bahwa Liga Inggris 2013/2014 dikuasai tim dengan filosofi sepak bola menyerang, City dan Liverpool.Hal menarik lain dari Liga Inggris musim kemarin adalah ketatnya persaingan menuju tangga juara. Pelakonnya adalah City, Liverpool dan Chelsea. Tiga klub ini silih berganti menduduki top klasemen di setiap pekannya. Permutasi itu bahkan terjadi di ujung kompetisi, sebelum City menguncinya satu hingga dua pekan sebelum kompetisi kelar. Pada pekan pertama saja, trio ini mengalahkan lawan-lawannya. City membantai Newcastle 4-0, Liverpool menang tipis 1-0 atas Stoke City, dan Chelsea menang 2-0 atas Hull City. Manchester Biru pun menguasai klasemen.
Memasuki pekan ke-10 hingga 15, Arsenal menggangu tiga klub di atas. Si Gudang Peluru berhasil menguasai klasemen pada pekan-pekan tersebut. Pada pekan ke-15 Arsenal masih duduk manis di puncak meski meraih hasil minor kontra Everton. Itu setelah City bermain imbang kontra Southampton dan Chelsea tumbang di tangan Stoke. Liverpool? Meski menang lawan West Ham, tapi Si Merah masih belum mampu memasuki fase indah mereka.
Nah, sejak pekan ke-16, Arsenal memasuki fase jungkir balik. Pada pekan tersebut, Arsenal berjumpa City. Tanpa ampun, City mengebumikan Arsenal dengan skor 6-3. Drama pesta gol juga diraih Liverpool. The Reds meluluhlantakkan Tottenham lima gol tanpa balas. Chelsea pun juga meraih kemenangan tipis 2-1 atas Crystal Palace. Memang Arsenal masih memimpin dengan keunggulan dua poin dari City. Namun pada pekan tersebut menjadi awal dekadensi The Gooners. Benar saja. Pada pekan-pekan berikutnya, Arsenal tampak kedodoran menghadapi tekanan dari trio pemburu gelar; City, Liverpool dan Chelsea.
Puncak dekadensi Arsenal terjadi di pekan ke-25. Liverpool mampu menciptakan thriller 6 gol di Anfield. Lima gol bersarang ke gawang Arsenal berbalas satu ke gawang Liverpool betul-betul menjadi malapetaka hilangnya asa juara Arsenal. Di sini Liverpool mulai unjuk kekuatan sebagai salah satu calon kuat juara EPL. Uniknya, pada pekan ke-25, Chelsea muncul sebagai penguasa klasemen setelah The Blues meraih kemenangan 3-0 atas Newcastle. Sementara laga City kontra Norwich menciptakan hasil kacamata. Meski Liverpool masih berada di luar tiga besar, namun pada pekan ke-25 inilah awal pengejaran dahaga gelar The Pool yang terakhir kali dirasakan pada musim 1990/1991. Di saat City dan Arsenal kedodoran, Liverpool tancap gas mengejar mereka dan sang penguasa klasemen, Chelsea.
Hasil di luar dugaan tercipta di pekan ke-30. Sang Penguasa klasemen, Chelsea, tanpa diduga takluk di tangan Aston Villa dengan skor tipis, 1-0. Keuntungan jelas berpihak pada Manchester City yang menang 2-0 atas Hull City. Chelsea memang masih memimpin tapi City masih punya tabungan bermain sebanyak tiga kali. Hasil manis juga diperoleh Liverpool yang berhasil mengatasi musuh abadinya, Manchester United, dengan skor lumayan telak, 0-3. Terasa lebih manis karena Liverpool meraihnya di rumah MU. Arsenal pun meraih poin penuh atas Tottetanham. Table di klasemen belum berubah, trio Chelsea, Liverpool dan Arsenal masih kokoh di tiga besar, dengan City mengintip peluang menggeser ketiganya.
Lanjut ke pekan ke-31. Pada pekan tersebut, Arsenal betul-betul dibuat tidak berdaya. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Sudah kalah telak 6-0 atas Chelsea, Si Gudang Peluru malah terlempar ke luar dari tiga besar. Laga ke-1000 pelatih Arsene Wenger pun ternodai kekahalan telak tersebut. Uniknya, dua pemburu gelar lainnya, Liverpool dan City, juga meraih kemenangan besar. Liverpool melumat Cardiff 3-6, sementara City membenamkan Fulham lima gol tanpa balas. Menarik bukan?
Pada pekan ke-32 dan 33, tiga besar tidak berubah. Chelsea, Liverpool dan City meraih hasil yang sempurna. Yang jadi catatan penting saya di sini adalah City berhasil meraih poin krusial di dua pekan tersebut, yakni satu poin kala bersua Arsenal, dan tiga poin kala berjumpa tetangga rivalnya, MU. City pun memelihara asa juaranya. Meski masih duduk di posisi ketiga, City diuntungkan jumlah laga yang minus ketimbang dua rivalnya itu.
Pada pekan ke-34, adrenalin para fans pemburu tahta juara, Chelsea, Liverpool dan City, bergoncang hebat. Bagaimana tidak. Empat pekan sebelum tirai kompetisi ditutup, City malah melempem dan harus takluk 2-3 di tangan Liverpool, yang notabene saingan nomor satu dalam memburu gelar juara. Sementara Chelsea juga memetik kemenangan tipis 1-0 atas Swansea. Liverpool menguasai klasemen. Chelsea di posisi dua, dan City ke-3. Dimana Arsenal? Arsenal harus terpental keluar dari persaingan juara.
Memasuki pekan ke-36, situasi berbalik. Pekan ke-36 betul-betul menjadi neraka buat Liverpool, sang pemimpin klasemen. Namun bagi City sendiri, pekan 36 adalah surga. City wajib mengucapkan terima kasih kepada Chelsea, karena Chelsea-lah yang menghadirkan neraka buat Si Merah di Anfield lewat kemenangan dua gol tanpa balas. Hasil itu jelas membuat City di atas angin karena masih memiliki tabungan satu laga lebih sedikit dari Liverpool plus selisih gol yang sangat meyakinkan. Hasilnya pun tidak keluar dari jalur kejutan. City sukses meraup tiga poin sempurna di laga tundanya setelah menang tipis 2-3 atas Everton.
Pekan ke-37, neraka Liverpool berbuah tangisan yang memilukan. Liverpool harus berbagi angka 3-3 kontra Crystal Palace. Momen ini dihiasi tangisan Steven Gerrard. Hasil tersebut semakin menipiskan peluang juara The Pool karena saingannya, City,masih menyimpan dua laga sisa, sementara Liverpool satu laga untuk mengunci gelar juara, dan selisih di antara keduanya cuma satu poin saja. Benar saja, prediksi banyak kalangan bahwa City bakal sukses di laga sisanya terbukti. Aston Villa, yang mencoba mengganggu City, tidak berhasil. Malah mereka digebuk empat gol tanpa balas.
Pada pekan pamungkas, pekan ke-38, City tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengulangi momentum juara seperti musim 2011/2012. Hasilnya, City mengunci gelar juara setelah melumat West Ham 2-0, meski di saat yang bersamaan Liverpool juga menang atas Newcastle. Selisih dua poin sudah cukup bagi City untuk mengulangi kejayaan musim 2011/2012, musim paling dramatis sepanjang gelaran Liga Inggris. Posisi satu sampai tiga ditempati City, Liverpool dan Chelsea. Nah, bagaimana dengan musim 2014/2015 yang tirai panggungnya akan dibuka beberapa jam ke depan? Apakah akan terjadi keanehan, keunikan dan kejadian-kejadian menarik lainnya? Menarik kita tunggu. Siapa jagoan Anda? Jagoan saya masih tetap biru. Kalau bukan City, ya Chelsea. Selamat datang Liga Inggris. (Lukman Hamarong)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H