Apasih artinya cinta?
Mengapa setiap orang boleh mengekspresikan cinta sekehendak hati sendiri?
Apakah cinta itu definisinya banyak, sehingga masing-masing individu harus berbeda dalam mengekspresikan cinta?
Apakah cinta akhir dari segalanya?
Atau awal dari segalanya?
Mari berbicara mengenai cinta.
Cinta…cinta…
Ada yang bilang karena cinta maka ada kehidupan. Karena cinta pula orang dapat mengakhiri kehidupannya. Tragis bukan? Apakah cinta sejahat itu? Tentu saja tidak.
Mari kita simak analogi berikut ini.
Konon terdapat seorang terdakwa kasus mafia pajak dan mafia hukum di dakwa telah melanggar hukum karena telah mengambil yang bukan menjadi haknya. Ketika ditanya oleh majelis hakim, apakah sang terdakwa benar melakukan pelanggaran hukum yang dimaksud? Sang terdakwa menjawab ya. Pertanyaan hakim berlanjut, mengenai mengapa saudara berani mengambil sesuatu yang bukan merupakan hak saudara? Sang terdakwa menjawab, saya melakukan itu karena saya cinta sama istri saya dan anak saya. Karena mereka selalu minta kepada saya mobil baru, perhiasan baru, sedangkan gaji saya yang hanya golongan III tidak mampu dan tidak akan mampu memenuhi permintaan mereka.
Sampai disitu ceritanya, kita dihadapi pertanyaan besar. Terlepas dari ketidakpedulian anak dan istri si terdakwa akan kondisi keuangan si terdakwa, sang terdakwa terlanjur berucap bahwa ia melakukan kejahatan itu karena ia mencintai anak dan istrinya. Apakah sikap sang terdakwa terhadap anak dan istrinya dengan melanggar hukum dapat disebut cinta?
Cerita kedua berasal dari cerita yang sangat fenomenal yang berasal dari daratan Eropa khususnya Italia yaitu kisah cinta Romeo dan Juliet. Salah satu dari pasangan rela mati demi cintanya kepada pasangannya dengan harapan dapat bertemu dan bersama-sama kembali di alam yang sama.
Apakah perbuatan salah satu dari pasangan ini dapat dikatakan sebagai perbuatan karena cinta? padahal kita tahu bahwa pengingkaran akan kehidupan adalah salah satu perbuatan penyangkalan akan kehidupan itu sendiri. Dan pasti akan mendapat ganjaran yang setimpal oleh yang Empunya kehidupan.
Cerita ketiga berasal dari kisah cinta yang sangat mulia dari seorang wanita, yang oleh karena besarnya cinta pada sesamanya dirinyapun rela menjadi tumbal atas resiko kecintaannya itu. Yang saya maksud adalah Mother Teresa.
Cinta…cinta…
Seandainya cinta dapat memilih, kepada siapa ia menjatuhkan pilihannya?
Pertanyaan ini menuntut penjelasan yang mendalam yang pada akhirnya bermuara pada pertanyaan mengenai hakikat dari cinta? ketiga ilustrasi di atas menggambarkan sikap cinta seseorang kepada orang yang dicintainya. Tetapi yang manakah yang merupakan sikap cinta yang sesungguhnya.
Cinta memang universal. Keuniversalan cinta melingkupi subjek, objek, serta pewujudannya. Dapatkah disalahkan sikap cinta dari sang terdakwa kasus mafia pajak? Atau haruskah cinta memilih untuk berlaku hanya pada Mother Teresa? Karena sang Juliet disangka melakukan pelanggaran atas entitas cinta yang sesungguhnya.
Oh begitu pelik engkau cinta…
Adakah seseorang mencintai karena memang ia cinta dengan segala keobjektivitasannya? Bukankah dengan kita memberikan alasan mengapa kita mencinta merupakan tindakan pengerusan objektivitas cinta itu sendiri. Padahal yang kita inginkan adalah kita mencinta dengan tidak mengambil sedikitpun ciri daricinta bahkan merusak cinta itu sendiri? analoginya demikian, kita mencintai bunga mawar apabila bunga mawar tersebut disimpan di pot yang sangat cantik. Tatkala kita memindahkan bunga mawar tersebut dari halaman ke pot yang cantik, berarti cantiknya bunga mawar sudah tergerus, paling tidak karena tempatnya sudah dipindahkan. Belum termasuk bunga mawar tidak dapat asupan mineral dan sebagainya. Lalu cinta sejati yang sebenarnya itu apa? Yaitu mencintai tanpa mengurangi nilai cinta (objektivitas cinta) itu sendiri. Apakah terdapat di dimensi kita ”cinta” yang demikian? Jawabnya ada, cinta yang tanpa memandang pembeda subjektiv, objektiv, serta ejawantah dari objek cinta. Cinta yang tulus tanpa pamrih, dan bahkan rela mengorbankan diri demi cintanya kepada sang objek cintanya. Cinta yang karena cinta Ia rela mati tetapi tidak mengingkari entitas Sang Pencipta Cinta.
Lalu terhadap kita, apakah kita mampu seperti Dia (Sang Pencipta Cinta)?
Entahlah, bagi saya hanya masalah porsi. Kita pasti tidak akan mampu menyamai apa yang telah Ia lakukan. Kita hanya mampu melakukan sedikit bagian dari porsi kepenuhannya. Dengan berharap melakukan porsi yang sedikit itu, saya dan Anda bisa melakukan bersama-sama dengan Dia suatu saat nanti. (ISA)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H