Mohon tunggu...
Imanuel Sairo Awang
Imanuel Sairo Awang Mohon Tunggu... -

Pengajar di STKIP Persada Khatulistiwa Sintang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Senja di Bumi Uncak Kapuas

8 September 2014   03:49 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:21 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keteduhan sudah melanda, tatkala memasuki salah satu jantung tanah borneo (The Heart of Borneo) yakni Kabupaten Kapuas Hulu. Anda dan saya (Netizen) akan disambut dengan semilirnya angin ketika memasuki berebagai hutan yang dijadikan Taman Nasional. Ya, Kabupaten Kapuas Hulu memang Kabupaten dengan area Taman Nasional terbanyak paling tidak di Propinsi Kalimantan Barat. Oleh Karena itu, tepatlah apabila Kabupaten Kapuas Hulu menjadi daerah konservasi dan salah satu daerah yang dijadikan The Heart of Borneo.

Memasuki kota Putussibau –Ibukota Kabupaten Kapuas Hulu- Netizen juga disambut dengan banyaknya sungai yang membelah kota yang eksotis tersebut. Salah satu sungai tersebut adalah sungai Kapuas yang membelah kota Putussibau menjadi dua bagian yakni kota Putussibau Utara dan kota Putussibau Selatan. Disamping itu terdapat juga sungai sibau, yang mengalir sepanjang kota Putussibau Utara melalui sisi timur. Sungai ini juga menyimpan sejarah yang tidak terlupakan bagi warga Putussibau sendiri. Konon, nama ibukota Putussibau sendiri berarti sungai –Kapuas- yang diputus/dipotong oleh sungai Sibau. Cerita ini seakan terbukti ketika Anda sedang berada di atas jembatan Kapuas dan memandang ke bagian timur. Maka Anda akan mendapati ada sebuah muara dimana salah satu daerah aliran sungai mengering. Sungai yang mengering ini ditengarai adalah sungai Kapuas yang telah diputus oleh sungai Sibau.

Selain topografi keadaan alam yang indah, yang menjadikan kabupaten Kapuas Hulu berbeda dari kabupaten lainnya di propinsi Kalimantan barat adalah masih dipertahankannya warisan budaya lokal. Mulai dari adat-istiadat, folklore, berbagai motif pakaian adat, serta masih ditemukannya rumah adat asli penduduk lokal. Banyaknya bangunan rumah panjang atau rumah betang yang menjadi rumah asli penduduk lokal yakni suku dayak juga menjadikan Kabupaten Kapuas hulu berbeda dari kabupaten lainnya. Eksistensi rumah betang tidak hanya mempertahankan bentuk asli rumah sebagai tempat tinggal masyarakat setempat, melainkan nilai luhur serta spirit yang diejawantahkan dalam rumah betang juga masih terus dipertahankan. Pada sisi ini, masyarakat Indonesia secara keseluruhan dapat kembali berkaca pada semangat rumah betang dimana hidup secara kekeluargaan dan kegotong-royongan adalah cara hidup yang dimiliki oleh nenek moyang kita terdahulu.

Masuknya pengaruh modern (modernitas) juga menjadi catatan tersendiri. Kabupaten Kapuas Hulu ditinjau dari modernitas kehidupan spiritual menjadi tempat pertama yang dikunjungi oleh misionaris Katolik asal Eropa di tanah Borneo. Paling tidak situs gereja perdana di tanah Kalimantan masih berdiri tegak di pinggiran sungai Seberuang, Sejiram, Ibukota Kecamatan Seberuang, dan Gereja St. Martinus terletak Benua Martinus, kabupaten Kapuas Hulu. Sejiram adalah paroki –daerah pastoral katolik yang dipimpin oleh imam- pertama di tanah Borneo- pertama di Kalimantan Barat bagian timur. Sedangkan Bangunan Gereja Katolik perdana yang sudah berumur lebih dari 1 abad adalah Gereja St. Martinus yang terletak di Ibukota Kecamatan Embaloh Hulu, yakni Benua Martinus. Fakta ini sekali lagi menegaskan bahwa kabupaten Kapuas Hulu menjadi faktor penting dalam perkembangan peradaban di tanah Borneo.

Sejenak, apabila Netizen berkunjung ke Putussibau, jangan sampai melewatkan suasana sore hari di alun-alun (taman alun) kota Putussibau. Tempat ini adalah tempat yang sangat menyenangkan untuk kembali merenungkan The Heart of Borneo yang sesungguhnya. Ditemani dengan sunset yang begitu indah, Anda seakan berada pada suatu titik dimana dimensi sesungguhnya dari The Heart of Borneo berlangsung. Memandang ke arah sungai Kapuas yang berada tepat di depan Anda, Anda akan terbawa pada suatu suasana kontemporer, dimana di tempat Anda berpijak merupakan tempat dimana peradaban itu dikendalikan. Sungai Kapuas dapat menjadi indikator nyata keberlangsungan peradaban manusia. Apabila sungai terpanjang di Indonesia tersebut mengeluarkan amarahnya dengan membanjiri kota, dapat diartikan sudah terjadi ketidakseimbangan ekologi yang menjadi dasar dicanangkannya The Heart of Borneo itu sendiri.

Sisi lain dari menghabiskan senja sore hari di alun-alun kota Putussibau adalah romantisme klasik. Romantis dikarenakan Anda dapat menikmati suasana sore yang berbeda. Ditemani dengan camilan khas kota Putussibau yakni kerupuk basah, Anda juga diingatkan bahwa selain sungai Kapuas sebagai ikon kota, Putussibau juga kaya akan sumber daya alam air tawarnya yakni ikan sebagai bahan utama kerupuk basah tersebut. Suasana klasik yang ditimbulkan adalah sebuah perasaan akan selalu ingin kembali ke tempo dulu, dimana rumah betang dan semangat rumah betang menjadi roh berkehidupan bagi masyarakat setempat. Pertanyaan sederhananya, sudahkah kita menyemangati The Heart of Borneo dalam kehidupan kita? Kalau belum, Lakukan! (ISA)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun