Mohon tunggu...
Iman Maulana
Iman Maulana Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Anak pertama dari 3 bersaudara. Penggila Futsal dan seorang tukang ketik code program pada salah satu IT Consultant di Bandung. Berharap suatu saat nanti bisa membuat buku yang menjadi bacaan positif dan bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Janji, Harapan dan Kekecewaan

18 Oktober 2014   06:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:35 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah beberapa hari akhirnya rampung juga tulisan ini, meski hanya ditemani sebotol kopi instan dingin yang masih kalah dengan dinginnya angin malam yang membacok tulang, dan beberapa batang rokok yang tidak juga mampu mengalahkan dinginnya malam. Sekian pembukaannya, dimulai dengan cerita dulu ya, begini ceritanya.

Pagi itu X merasa ada yang tak biasa, teman sekantornya yang bernama Y sudah berada di pantri kantor lebih dahulu dari dia. Padahal Y hampir selalu datang 1 jam setelah X datang, maklum memang disamping jarak rumah Y dengan kantor lumayan jauh, dia juga harus mengantar istrinya terlebih dahulu ke tempat kerjanya.
"Pagi Y, tumben nih!", sapa X sambil menyiapkan kopi yang sudah jadi kebiasaannya.
"Ya nih, istriku lagi cuti, hari ini juga aku udah ga sabar ingin cepat ke kantor." balas X yang sudah menghabiskan hampir setengah gelas teh nya.
"Oh, lagi banyak yang harus selesaikan?" tanya X sebelum menyeruput kopi buatannya.
"Tidak, aku ada perlu sama bos, semua pekerjaanku sudah beres dan laporannya sudah aku sampaikan ke bos kemarin. Ayo aku duluan ke atas" jawab Y tersenyum dan lalu beranjak menuju ruang kerjanya.
"OK!" Y membalas dan berjalan menuju ruang kerjanya.
X sudah duduk di belakang  meja kerjanya, dahi nya mengerut, tangannya masih memegang cangkir berisi kopi hitam yang lebih dominan pahitnya daripada manis. Ia mencoba mengingat-ngingat kiranya hal penting apa yang ingin disampaikan Y kepada bos, bukan urusan dia sebenarnya namun Y adalah teman dekat X yang sudah lama saling mengetahui satu sama lain.
Segera X simpan cangkir kopi yang sedang dia pegang dan berganti dengan handphonenya. "Kamu mau menagih janji itu ke bos?" itu message yang dikirim X ke Y, "Ya, besok aku sudah harus membayar biaya akad kredit rumah yang aku ajukan waktu itu, alhamdulillah di ACC" balasan Y. "Syukur alhamdulillah semoga lancar :) " X tersenyum dan membalas pesan Y. "Amiin" tutup Y.

Waktu berlalu begitu cepat, hari sudah beranjak siang dan tiba waktunya makan siang. X sudah berada di depan kantor, tangannya sibuk mengirim pesan singkat menanyakan keberadaan Y. "Aku sudah di kantin" itu pesan balasan Y, X pun bergegas menuju kantin.
Setelah memesan makan siangnya, X menuju meja yang disana Y sudah duduk dengan wajah yang tidak secerah pagi tadi. Makanannya pun belum dia sentuh, raut wajahnya menampakkan kekecewaan. Setelah berbincang disela makan siang tersebut, X mengetahui bahwa Y benar-benar kecewa terhadap jawaban bos saat Y menanyakan kepastian akan janji bos waktu itu.
Memang X sendiri masih mengingat bahwa bos pernah berjanji jika Y menyelesaikan pekerjaannya, perusahaan akan memberi bantuan untuk pembiayaan kredit perumahannya. Dan hari ini, Y menagih janji tersebut karena pekerjaan yang dia emban sudah selesai, namun hanya kekecewaan yang didapat. Alasan dari bos adalah karena keuangan perusahaan lagi menurun karena ini itu dan sebagainya, yang pasti Y merasakan kekecewaan yang sangat besar.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan dan kekecewaan Y masih tergambar di wajahnya. Keluhan hampir selalu terlontar dari bibirnya pada setiap perbincangan tentang pekerjaan, dan itu mempengaruhi kinerja Y yang kian hari kian menurun. Motivasinya sudah tidak seperti dulu, semangat kerjanya sudah mulai kendur, X memaklumi keadaan itu, sebagai sahabat dia hanya bisa menghibur dan memompa motivasi Y untuk terus berkarya. X menyadari bahwa tindakan Y akan berakibat buruk bagi diri Y sendiri, kekecewaan yang mendalam diikuti dengan keluhan yang terus menerus akan mempengaruhi karier, dan keluargnya.
Setelah sekian lama, Y akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri dari kantor meski belum tahu selanjutnya akan bekerja dimana atau membuka usaha apa. Dan kabar terakhir yang X dengar tentang Y setelah peristiwa itu adalah disitanya rumah Y oleh pihak bank dan harus hidup berpindah-pindah dari kontrakan satu ke kontrakan lain dengan pekerjaan yang tidak menentu.

Cerita di atas hanyalah sebuah contoh salah satu warna kehidupan dari manusia. Berbagai persoalan yang kita hadapi menuntut kita untuk dapat menyelesaikannya. Salah satu solusi yang kita lakukan adalah dengan adanya bantuan dari pihak lain, terlebih akan bantuan yang telah dijanjikan. Ada pelajaran berharga dari kisah di atas.

Jangan Berjanji
Lidah tak bertulang dan salah satu anggota tubuh yang gerakkannya paling mudah. Kita bisa melontarkan kata-kata baik itu perkataan baik maupun buruk, termasuk berjanji dan lidah berperan disana. Janji memang ringan diucapkan namun berat untuk ditunaikan. Betapa banyak manusia yang mudah mengobral janji kepada manusia yang lain tapi tak pernah menunaikannya. Betapa banyak orang yang dengan gampangnya berjanji untuk bertemu namun tak pernah menepatinya. Dan betapa banyak pula orang yang berhutang namun mengingkari janjinya.
Manusia adalah makhluk sosial, dalam kehidupannya tak dapat dipungkiri ada keterikatan dan pergaulan dengan orang lain. Tinggi kedudukannya manusia tersebut tercermin dalam hubungannya dengan manusia lain dan terpercaya dalam pergaulannya bersama mereka. Orang yang senantiasa menghiasai dirinya dengan akhlak terpuji tentunya bisa meraih predikat orang yang baik dan bagus dalam pergaulannya. Dan di antara akhlak terpuji yang terdepan adalah menepati janji.
Dunia serasa lebih indah saat berjanji, karena memang mudah diucapkan. Tetapi mengingkarinya mampu menjadi musibah dan menjadikan wajah relasi diri kita dengan orang lain yang awalnya baik menjadi berubah. Mungkin saja janji-janji itu tidak bernilai bagi pelaku pemberi janji, mudahnya dia berjanji semudah dia berkata. Namun bagi mereka yang mendengar, janji-janji itu akan selalu teringat dan terngiang-ngiang serta ada tuntutan di hatinya untuk meminta janji itu direalisasikan. Tidak perlu dan bahkan jangan berjanji jika tidak ingin meninggalkan ribuan bahkan jutaan sakit hati di dada manusia. Ada janji yang tak ditepati, itu sudah cukup untuk menjatuhkan wibawa dan kepercayaan orang lain meskipun kita tidak berniat untuk mengingkari janji tersebut. Ketika kita berjanji lagi maka orang pun akan meragukannya. Pada setiap kebaikan yang kita perbuat akan membuat hancur kepercayaan orang hanya karena kita tidak menepati janji yang kita ucapkan. Kita berharap setiap janji yang terlontar dari mulut kita benar adanya dan tidak membuat orang lain merugi, terutama tidak merugikan diri kita sendiri.

Jangan berharap pada manusia, Kecewa lho..

Jangan karena kita merasa sudah berupaya semaksimal mungkin dalam bekerja, kemudian kita merasa bahwa sudah sepantasnya kita mendapatkan buah dari pekerjaan kita. Atasan di semua perusahaan juga manusia dan sama halnya dengan kita mereka bisa berjanji.
Janji-janji boleh didengarkan, kita amini agar dilaksanakan. Selama yang berjanji masih manusia biasa janganlah percaya sepenuhnya. Siapkan saja diri kita untuk menerima kenyataan yang mungkin tidak sesuai dengan janji yang telah diucapkan, agar tidak kecewa terlalu dalam dan berkali-kali.
Jangan berharap pada sesama makhluk, kekecewaan yang nantinya akan didapat. Tidak dapat dipungkiri, manusia pasti mempunyai hasrat atau keinginan untuk mendapatkan sesuatu dari pekerjaan, baik itu jabatan, harta, simpati atau timbal balik dari apa yang telah kita lakukan. Dan seringkali, hal tersebut membuat down, putus asa, kecewa yang teramat sangat pada saat akhirnya mengetahui harapan dan keinginan kita tidak dapat terwujud.
Ada siang ada malam, ada manis ada pahit begitu juga dengan hidup, ada susah dan tentu ada senang. Kita dan manusia lainnya mempunyai cara yang berbeda dalam menyikapi dan bereaksi terhadap kejadian buruk yang menimpa. Semangat untuk bangkit dari keterpurukan dan kekecewaan biasanya muncul pada saat kita melepaskan diri dari ketergantungan terhadap sesuatu atau pekerjaan yang didapatkannya, senyum akan terus mengembang meski kehidupan ini terkadang mesti dilalui dengan penderitaan.

Jadi teruslah berkarya dan beramal, dan jangan sekalipun kita bergantung pada amal perbuatan itu. hal yang terpenting disini adalah berikan yang terbaik dalam melakukan sesuatu. Setidaknya kita akan selalu sadar, bahwa kepuasan kita dalam bekerja adalah karena kita sudah membuat karya yang bermanfaat bagi orang banyak, dan bukan terletak pada hasil yang akan kita peroleh nantinya dari pekerjaan tersebut.
Semangat, berfikir positif, jangan pernah mengeluh, jangan berputus asa, dan tetaplah tersenyum. Lakukan apa yang bisa kita lakukan selama itu benar dan bermanfaat bagi orang lain.
Kata orang sunda mah "Melak bonteng jadi bonteng, melak cabe jadi cabe (Nanam timun jadi timun, nanam cabe jadi cabe)- Menanam kebaikan hasilnya tentu kebaikan, menanam keburukan hasilnya tentu keburukan".

Tulisan ini bukan untuk menasehati, bukan pula penulis sudah menjadi orang baik, tapi karena penulis masih sadar bahwa tidak ada salahnya saling mengingatkan. Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun