Harga jual itu relatif terjangkau. Di salah satu pasar swalayan di Kota Bogor, harga sekilo jeruk lokal berkisar Rp19.000---Rp26.000 per kg. Menurut Rizal dengan harga jual itu masih meraup keuntungan. Padahal, ia harus mengeluarkan biaya kirim dari Garut ke Kota Bogor. Dari Kota Hujan ia mendistribusikan jeruk kepada para pemesan di seputar Jabodetabek. Rizal menuturkan biaya produksi jeruk di kebunnya rata-rata Rp3.500 per kg.
Itulah sebabnya jeruk produksi Rizal laris manis. Bahkan ia pernah kewalahan melayani permintaan sehingga terpaksa membeli jeruk dari pekebun lain di Kabupaten Garut. "Namun, karena tidak dibina sebelumnya, ternyata kualitas jeruk dari pekebun itu mengecewakan," tutur salah satu pendiri gerakan Revolusi Oranye, yaitu kampanye pengembangan buah nusantara dalam skala perkebunan yang digagas IPB.
Namun, Rizal tak ingin hanya fokus menggenjot produksi jeruk. "Saya juga ingin membuat pusat pembelajaran pertanian," tutur pemuda kelahiran 8 Mei 1991 itu. Ia juga berharap dapat menjadi contoh bahwa bertani itu keren dan kekinian. "Sektor pertanian juga bisa menjadi salah satu pilihan karir yang penghasilanya setara dengan sektor lain, seperti lembaga keuangan, konsultan, dan produsen produk konsumsi," jelasnya.
Pada 2016 ia bersama rekannya, Chikameriana Adyanisa, S.Komp., dan kakak kandung Rizal, Dasep Badrusallam, S.T., mendirikan kebun edukasi bernama Eptilu. Nama itu diambil dari pelafalan akronim Fresh from Farm (F3) dalam dialek bahasa Sunda. Dalam mengelola Eptilu ketiganya berbagi tugas. Chikameriana bertugas sebagai marketing dan Dasep bertanggung jawab dalam pengembangan bisnis. "Alhamdulillah setiap minggu mulai banyak pelajar serta mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi seperti IPB, Universitas Padjadjaran (Unpad), Universitas Garut (Uniga), dan perguruan tinggi swasta lokal lain yang berkunjung ke kebun kami," ujarnya. Bahkan para pejabat di lingkungan Kabupaten Garut dan Provinsi Jawa Barat pun pernah menyambangi kebun Eptilu.
Sayangnya sejak mendirikan Eptilu dan membuka kebun edukasi dan agrowisata, para konsumen di Jabodetabek seringkali tak kebagian pasokan karena buah selalu habis di kebun. Harap mafhum, pengunjung terus berdatangan meski saat hari kerja. "Kalau akhir pekan bahkan seringkali tidak tertampung," ujarnya. Untuk memenuhi kekurangan pasokan ia berencana bermitra dengan para pekebun jeruk lain di 4 kecamatan di Kabupaten Garut dengan total luas area tanam 14 ha. "Sebetulnya potensi jeruk di Kabupaten Garut yang sudah saya identifikasi mencapai 75 ha. Nanti secara bertahap akan kami perluas," ujar juara I Wirausaha Muda Pemula Berprestasi Tingkat Nasional 2016 dari Kementerian Pemuda dan Olahraga itu.
Ide Rizal mengembangkan jeruk sejatinya tercetus sejak 2012. Ketika itu ia bertemu dengan Ir. Achmad Syamsudin, M.B.A., yang juga alumnus IPB angkatan 21. Dalam pertemuan itu tercetuslah visi dan misi untuk membangun pertanian di Indonesia. Sebagai langkah awal, Rizal melakukan penelitian mengenai komoditas buah nusantara yang bernilai ekonomi tinggi. Salah satunya jeruk.
Menurut hitung-hitungan Rizal, jeruk memiliki peluang bisnis yang besar. Seandainya jumlah penduduk Indonesia sebanyak 200 juta jiwa dan 25% di antaranya mengonsumsi jeruk, maka kebutuhan jeruk nasional mencapai 3,7 juta ton per tahun. "Apalagi jeruk pernah menjadi ikon Kabupaten Garut," tutur peraih penghargaan Young on Top Duta Petani Muda Indonesia 2016 itu.
Itulah sebabnya saat Rizal lolos mengikuti International Agriculture Internship Program, program magang yang diselenggarakan IPB bekerjasama dengan The Ohio State University, Amerika Serikat, ia memilih magang di sebuah perusahaan produsen jeruk di Kalifornia. "Di sana saya dapat banyak ilmu tentang jeruk dan bisa saya terapkan untuk pertanian jeruk di sini," ujar putra dari Dikdik Sontani itu.
Meski baru berumur 7 purnama, Rizal senang kebun edukasi dan agrowisata Eptilu yang ia kembangkan ternyata turut membangkitkan ekonomi masyarakat sekitar. Pondok Pesantren Nurul Falah yang berlokasi di dekat kebun Eptilu memperoleh pendapatan tambahan dari karcis masuk dan jasa parkir. "Ada juga produsen makanan ringan skala rumahan milik masyarakat sekitar yang menitipkan produknya di kedai Eptilu," papar pria asli Garut itu.