Mohon tunggu...
Imam Wiguna
Imam Wiguna Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

Karyawan swasta, ayah dua anak, tinggal di Bogor.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bunga Ini Bisa Dimakan dan Berharga Mahal

15 Januari 2018   00:46 Diperbarui: 16 Januari 2018   16:27 4302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aneka jenis bunga edible yang dapat dikonsumsi dan berharga mahal. (Foto: Imam Wiguna)

Eva Lasti Apriani Madarona membudidayakan bunga edible dan menghasilkan omzet hingga puluhan juta rupiah per bulan. (Foto: Imam Wiguna)
Eva Lasti Apriani Madarona membudidayakan bunga edible dan menghasilkan omzet hingga puluhan juta rupiah per bulan. (Foto: Imam Wiguna)
Suatu ketika dalam perjalanan ke Jakarta untuk menghadiri undangan pertemuan, pemasok pasar swalayan kembali menghubungi Eva. "Ia menanyakan bunga edible-nya sudah berbunga atau belum," ujarnya. Beruntung ketika itu Eva membawa seboks tanaman yang sedang berbunga. Keduanya lalu janjian untuk bertemu. Dalam pertemuan itu sang pemasok meminta pasokan bunga edible kepada Eva. "Bunga yang saya bawa juga dibeli Rp150.000. Lumayan buat ongkos pulang ke Bandung," ujar Eva.

Eva menuturkan selama ini pasar swalayan mendapat pasokan bunga edible dari hasil impor. Dalam setahun terakhir pasokan bunga edible impor terhambat karena adanya kebijakan pemerintah yang mewajibkan setiap produk tanaman difumigasi sebelum diedarkan di tanah air. "Mungkin tujuannya untuk mencegah masuknya wabah penyakit yang terbawa oleh produk impor," ujar Eva. Namun, proses fumigasi itu membuat bunga edible menjadi tidak aman konsumsi karena terpapar bahan kimia yang berbahaya. Itulah sebabnya perusahaan pemasok pasar swalayan langsung tertarik saat mengetahui ada produsen bunga edible lokal.

Sejak itulah Eva makin serius membudidayakan tanaman bunga edible. Rumah tanam di dak lantai 3 rumahnya yang semula berisi sayuran hidroponik ia ganti dengan aneka tanaman bunga. Cara budidayanya sama dengan sayuran hidroponik, yakni dengan nutrient film technique (NFT). Dari benih yang disemai pada rockwool ia tempatkan pada netpot di lubang tanam. Namun, teknik budidaya itu membuat pertumbuhan tanaman bunga kurang optimal. "Tanaman tidak tumbuh roset sehingga tampak seperti kerdil dan jumlah bunga yang dihasilkan sedikit," ujarnya.

Sejak itu ia mengganti gully trapesium yang semula digunakan untuk membudidayakan sayuran hidroponik dengan talang air. Ada pun tanaman bunga ia tanam dalam pot berisi media tanam nirtanah. "Tapi untuk nutrisinya tetap menggunakan AB mix," kata ibu yang juga hobi membuat kue itu. Dengan teknik budidaya itu pertumbuhan tanaman lebih baik. Contohnya viola. Tanaman anggota famili Violaceae itu beranak pinak sehingga tampak lebih roset dan mampu menghasilkan bunga lebih banyak.

Karena bunga yang dihasilkan untuk konsumsi, Eva tidak menyemprot tanaman dengan pestisida apa pun. Itulah yang kini menjadi tantangan buat Eva. Hama menjadi ancaman terbesar dalam budidaya tanaman bunga. "Pada saat awal menanam tanaman bunga, tanaman saya sempat habis oleh serangan hama seperti thrips dan spider mite," ujarnya.

Tak ingin kejadian buruk itu terulang, ia pun melakukan berbagai upaya pencegahan. Salah satunya dengan melindungi dinding rumah tanam dengan jaring halus untuk mencegah serangga masuk. Penutupan dinding rumah tanam itu memang mengganggu sirkulasi udara. Agar sirkulasi udara tetap baik, Eva memasang kipas angin di dalam rumah tanam.

Berbagai upaya itu belum menjamin tanaman bebas serangan hama. "Masih ada saja kutu yang bersarang di tanaman. Oleh sebab itu saya selalu rutin memeriksa kondisi tanaman. Jika ada daun yang menjadi sarang hama, saya petik," tutur ibu ramah senyum itu. Semua itu rela ia lakukan demi menjaga pundi-pundi rupiah Eva. (Imam Wiguna)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun