Pencemaran nama baik adalah tindakan yang sengaja merendahkan, mencemarkan, atau menyebarkan informasi yang tidak benar tentang seseorang, kelompok, ras, agama, atau golongan tertentu. Tindakan ini dapat dilakukan melalui berbagai media, seperti percakapan langsung, surat, media sosial, atau tulisan di tempat umum. Pencemaran nama baik merupakan perbuatan melawan hukum yang dapat merugikan korban dan mempengaruhi kehidupan sosial, ekonomi, dan mental mereka. Pelaku pencemaran nama baik dapat dijerat dengan hukum pidana dan mendapatkan sanksi yang tegas.Â
Unsur-unsur pencemaran nama baik menurut Pasal 310 KUHP adalah dengan sengaja, Menyerang kehormatan atau nama baik, Menuduh melakukan suatu perbuatan, Menyiarkan tuduhan supaya diketahui umum. Sanksi pidana untuk pencemaran nama baik diatur dalam Pasal 310 KUHP dan Pasal 45 UU ITE. Sanksi pidana untuk pencemaran nama baik melalui media sosial atau transmisi elektronik dapat lebih berat.Â
Mahkamah Agung (MA) baru-baru ini menolak kasasi jaksa dalam kasus pencemaran nama baik yang melibatkan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, sebagai pelapor. Keputusan ini mengukuhkan vonis bebas terhadap aktivis hak asasi manusia (HAM) Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar. Putusan ini menjadi momen penting dalam perdebatan terkait kebebasan berekspresi, peran kritik dalam demokrasi, dan batasan hukum yang sering kali diperdebatkan di Indonesia. Â
Kasus ini bermula dari pernyataan Haris dan Fatia dalam sebuah diskusi daring yang mengaitkan Luhut dengan kepentingan ekonomi di wilayah tambang Papua. Pernyataan tersebut didasarkan pada hasil riset sejumlah organisasi masyarakat sipil. Luhut merasa dirugikan secara reputasi dan menggugat keduanya dengan pasal pencemaran nama baik. Namun, majelis hakim di pengadilan negeri sebelumnya memutuskan bahwa pernyataan Fatia dan Haris adalah bagian dari kebebasan berekspresi dan kritik yang dilindungi konstitusi. Putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi dan akhirnya Mahkamah Agung. Â
Keputusan MA ini mendapat tanggapan beragam. Di satu sisi, ini dianggap sebagai kemenangan bagi kebebasan berekspresi. Pendukung demokrasi menilai putusan ini memberikan ruang bagi kritik terhadap pejabat publik yang bertugas melayani rakyat. Dalam negara demokrasi, kritik terhadap pejabat harus dilihat sebagai bagian dari saling mengontrol dan menjaga keseimbangan antara lembaga-lembaga negara, bukan sebagai tindakan yang layak dikriminalisasi. Â
Namun, di sisi lain, ada yang menganggap putusan ini berpotensi menimbulkan kekacauan. Bagi sebagian kalangan, vonis bebas tersebut dikhawatirkan dapat digunakan sebagai pembenaran untuk melontarkan tuduhan tanpa dasar yang kuat atau pencemaran nama baik. Hal ini dapat menciptakan ketidakpastian hukum bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh pernyataan publik.Â
Sebagai pejabat publik, kritik adalah bagian dari risiko jabatan. Respon yang terlalu berlebihan dan tidak mau di salahkan dapat memunculkan persepsi negatif dan menggerus kepercayaan publik. Â Kasus ini menegaskan pentingnya penegakan hukum yang tidak memihak dan melindungi hak-hak warga negara. Penggunaan pasal pencemaran nama baik harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak mengancam kebebasan berekspresi. Â Keputusan MA untuk menolak kasasi jaksa adalah pengingat penting bahwa demokrasi membutuhkan ruang untuk kritik dan diskusi terbuka. Namun, kebebasan tersebut harus dijaga dengan tanggung jawab agar tidak disalahgunakan. Dalam kasus ini, Fatia dan Haris menjadi simbol keberanian dalam menyuarakan isu-isu publik yang sensitif, sementara putusan ini menggarisbawahi bahwa keadilan dapat menjadi pelindung bagi mereka yang berbicara atas nama kepentingan masyarakat. Â Ke depan, perdebatan ini harus menjadi momentum bagi Indonesia untuk memperkuat budaya demokrasi yang sehat, di mana kritik harus diterima dan diselesaikan tanpa perlu kriminalisasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H