Malam itu, ia kembali hadir dengan make-up tebal, baju dengan punggung terbuka, dan rok pendek satu jengkal di atas lutut. Dari ciri-cirinya saja aku sudah tahu namanya. Lydia, germo Gang Anggrek.
Kulihat ia tengah menghampiri seorang gadis di ruang tamu. Sepertinya ia sedang ingin marah.
“Dinda, sini kamu! Dasar anak bodoh! Kenapa kau tak mau melayani mereka?”
“Ampun, Nyonya! Aku belum sanggup melakukannya.”
“Kamu butuh uang kan? Apa kamu tega melihat ibumu terus sakit-sakitan?” Katanya sambil meyeret gadis belia itu ke gudang. Dinda menangis. Meronta-ronta. Mencoba melepas tangannya dari genggaman Lydia.
Di dalam gudang, dua pria setengah telanjang telah menunggu.
“Jangan, Nyonya! Jangan!” Teriakannya membuatku kembali masuk ke balik jam dinding.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H