Mohon tunggu...
Imamul Muttaqin
Imamul Muttaqin Mohon Tunggu... -

seorang mahasiswa semester tiga yang terjebak di tubuh bocah SMP kelas dua. Follow me at imamulmuttaqin.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bintang di Semak-semak

19 Februari 2012   04:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:28 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Semula, puzzle kehidupanku hampir tersusun rapi. Sampai akhirnya sebuah masalah datang, lalu menghancurkannya.

Malam itu, sengaja kukunjungi café favoritku. Café yang sudah menjadi tempat khususku untuk menghilangkan kebosanan. Kujatuhkan badanku di sofa paling belakang, tempat duduk yang bisa dengan bebasnya memandang seluruh isi café. Jarak empat meja di depanku, kulihat seorang perempuan tengah duduk sendirian di sofa seberang. Make-up tebal, baju dengan punggung terbuka, dan rok pendek satu jengkal di atas lutut. Dari ciri-cirinya saja aku sudah tahu namanya. Ya, itu kau. Mawar, seorang wanita yang pernah mengisi sekaligus memporak-porandakan kehidupanku. Ingin kudekati kau, tapi tak mungkin. Selang lima menit kemudian, kulihat seorang lelaki menghampirimu. Lalu kau berdiri dan menciumnya. Seketika ingatanku terlempar ke masa lalu, saat pertama kali aku mengenalmu.

***

Sore itu, usai meliput demo kenaikkan BBM, aku duduk di halte. Menunggu bus yang akan mengantarkanku beristirahat. Aku yang saat itu tengah bermain handphone, tiba-tiba melihat sesosok wanita menghampiriku, lalu duduk di sampingku. Dari perawakannya, umurnya kira-kira hampir sama denganku, 25 tahun. Kulit kuning dengan tahi lalat di dahinya. Sempat ia melirik dan tersenyum saat kupandang wajahnya.

Saat hendak berkenalan, tiba-tiba sebuah bus datang menjemputnya. Ia berdiri, lalu beranjak meninggalkanku sendirian di halte. Rasa penyesalan melintas di benakku.

“Kenapa tadi tidak kenalan? Semoga besok bisa bertemu lagi,” ucapku saat itu.

***

Esoknya, entah kebetulan atau tidak, tiba-tiba aku bertemu wanita itu lagi di tempat yang sama, halte bus. Dan lagi-lagi, ia duduk di sampingku. Lima menit berjalan, tanpa percakapan. Lalu, untuk menghancurkan kebosanan, kuberanikan untuk menyapa.

“Sore, Mbak.”

“Sore,” jawabnya datar.

“Pulang kerja Mbak?” Ia terdiam. Tak menjawab, sibuk dengan handphone-nya. Percakapan pun terhenti.

Beberapa saat kemudian bus pun datang. Ia naik, pun aku. Ia duduk sendirian di bangku belakang. “Tuhan Maha baik,” ucapku dalam hati.

Aku pun mendekatinya, mencoba duduk di sampingnya. Dengan senyum kecil, ia mempersilakanku. Kemudian, sebuah obrolan kecil dimulai saat sopir menjalankan busnya.

Bintang.”

“Mawar.”

Dari percakapan itu, aku mengetahui kalau ia rantauan asal Batak, bekerja sebagai Staff marketing di salah satu bank swasta. Bahasanya yang halus dan bibirnya yang ranum, membuatku jatuh cinta kepadanya. Sebuah jawaban yang entah serius atau hanya bercanda, tiba-tiba mengagetkanku.

“Aku jomblo,” ucapnya saat kutanya statusnya.

Belum sempat bertanya banyak tentang dirinya, bus pun berhenti. Aku turun, ia tetap di kursi itu. Melanjutkan perjalanan sampai di halte berikutnya. Saat sedang jalan kaki, sebuah penyesalan lagi-lagi menghampiriku.

“Ah, kenapa lupa minta nomor handphone-nya?”

***

Hari berikutnya, dengan prediksi waktu yang telah kupersiapkan, kusempatkan pulang lebih awal hanya untuk bertemunya lagi di tempat yang sama, halte bus. Kami pun bertemu kembali. Sebuah obrolan ringan kami lontarkan sambil menunggu bus. Tak lupa, kita pun saling bertukar nomor handphone. Bermula dengan sms basa-basi, menanyakan sedang apa, dan mengucapkan selamat malam saat hendak tidur, setiap hari.

Hari berganti hari, kami memutuskan untuk melanjutkan hubungan yang lebih serius. Kami berpacaran. Tak menghiraukan apa kata orang. Hingga pada akhirnya sebuah masalah besar datang. Aku yang saat itu tengah mudik ke Jogja, mencoba mengenalkanmu kepada orangtuaku.

“Pak, Bu, ini Mawar. Pacar Bintang.”

Mereka pun tersenyum, menyambut hangat kedatanganmu.

“Mawar anak rantauan juga, Bu. Di Jakarta kerja di Bank. Bintang kenal pas pulang kerja.”

“Lumayan cantik juga, ya,” bisik Ibu di telingaku.

“Kalau boleh tahu, Mawar anak mana, Tang?” Tanya Bapak.

“Batak, Pak.”

“Hah? Batak?” Bapak lalu menarik tanganku, membawaku ke kamarnya.

“Dia benar anak Batak?” Wajah Bapak memerah. Sepertinya ia marah.

“Tapi kalian cuma pacaran, kan?”

“Insyaallah kalau tidak ada halangan, tahun depan Bintang akan lamar dia, Pak.”

“Bapak nggak setuju kalau kalian nikah. Apa kata orang jika punya menantu beda etnis?”

“Tapi, Pak..”

“Sudah, tidak ada tapi-tapian. Bapak tetap nggak mau kamu menikah dengannya. Kalau kamu nikah sama dia, pasti banyak masalah yang datang. Banyak aib yang kita terima. Apalagi kalau kalian memiliki anak, pasti susah menentukan darahnya. Jawa atau Batak?

Coba lihat Pak Dedi, tetangga sebelah. Dia nikah dengan orang Batak. Tapi apa? Setahun kemudian mereka cerai karena orangtuanya tidak setuju. Anaknya? Kini pun mereka bingung anaknya akan diasuh oleh siapa. Kamu mau seperti dia?”

Aku terdiam, lalu keluar dengan muka tertunduk.

“Kamu kenapa, Sayang?” Bisik pacarku. Kemudian aku menyuruhnya mengobrol di luar.

“Jangan kaget, jangan marah juga. Bapakku kolot. Bapak tidak setuju kita pacaran, apalagi sampai nikah.”

“Alasannya?”

“Karena kita beda adat. Kamu Batak, aku Jawa. Bapak nggak mau punya menantu non-Jawa.”

“Tapi, Sayang, kalau sudah jodoh bagaimana? Apa orangtuamu tetap menolaknya?”

“Itulah masalahnya. Tapi, apa kamu siap menanggung resikonya?”

“Aku siap kalau kamu siap.”

“Kalau aku belum siap? Sayang, mungkin aku butuh waktu untuk memikirkannya, lanjut atau berhenti. Mungkin kita tak usah bertemu dulu. Kita cari jalan terang untuk memutuskan maslah ini.”

“Tapi, Sayang..” Kau pun menangis, jatuh di pelukanku.

***

Seminggu kemudian kau pulang, meminta pendapat orangtuamu. Sementara aku, tetap di Jogja, memaksa orangtuaku untuk merestui hubungan kita.

Ponselku berdering, kau memanggil.

“Say.” Kau memulai percakapan dengan isak tangis.

“Kenapa?”

“Maaf, Sayang, ternyata orangtuaku sama saja. Menolak hubungan kita.”

Aku terdiam. Menjatuhkan diri ke lantai.

“Ayah tidak suka punya menantu orang Jawa. Jauh. Kau tahu kan kamu ini anak satu-satunya Ayah? Kamu mau ibumu menangis karena ditinggal anaknya? Pokoknya Ayah tidak setuju kamu menikah dengan orang Jawa. Banyak kan lelaki Batak yang ajuh lebih baik dari dia?” Katamu meniru suara Ayahmu dengan isak tangis.

Sebuh jarum besar menusuk hatiku. Isak tangis memecah kesunyian kamarku. Kupencet tombol ‘putus’ di ponselku, tak ingin meneruskan perkataannya.

***

Dua hari kemudian..

Sebuah berita mengejutkan muncul di koran.

“Bintang (25), seorang wartawan ditemukan tak bernyawa di semak-semak. Diduga ia bunuh diri dengan memutuskan urat nadinya karena permasalahan hubungan percintaannya.”

***

Jedeeerr!!

Suara petir mengejutkanku. Jam menunjukkan pukul 02.50. Di luar, hujan turun dengan derasnya. Di café ini tinggal dua pelayan yang membereskan meja-meja. Beberapa menit kemudian mereka keluar, mengunci pintu café, dan meninggalkanku di dalam café yang tak pernah terlihat oleh mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun