Hujan selalu mengingatkanku tentang kenangan. Kenangan akan kebencianku kepada hujan.
Sore itu, langit terlihat muram. Suaranya mulai cerewet. Pertanda tangisnya akan jatuh. Kulihat langit lewat jendela kamarku, hitam, kelam. Kemudian turun setetes air. Dua. Tiga. Banyak. Kemudian semakin membesar, membesar, lalu deras.
Di dalam kamar kost, terlihat ada yang menetes dari atap. Pada mulanya hanya beberapa tetes, kemudian banyak. Pelan ia membuat sebuah genangan di kamarku. Genangan itu bergerak. Berdiri, membuat sebuah kaki, badan, tangan, lalu kepala. Ia menjelma sebagai manusia. Badannya terbuat dari air. Tembus. Tak berisi. Matanya bening bercahaya. Di pungungnya, muncul sepasang sayap. Membesar, lalu mengepak.
Aku kaget. Terjatuh. Lalu bergerak ke belakang, mencoba meraih gagang pintu untuk keluar. Kugerakkan gagang pintu. Sial, terkunci!
“Siapa kau?” Tanyaku dengan nada gagap.
“Tak perlu kau bertanya siapa aku ini. Tenang saja, aku akan menemanimu sampai hujan reda.” Sosok berwujud manusia air itu mendekatiku. Lalu duduk di sampingku.
“Maukah kau bercerita tentang sesuatu?” Lanjutnya.
“Cerita tentang apa?”
“Ceritakan saja kisahmu tentang aku.”
“Tapi aku benci hujan.”
“Tak apa. Ceritakan saja kisah kebencianmu terhadap hujan.”
“Baiklah.”
***
Aku memang benci hujan
Memutari kota Purwokerto di malam minggu sembari menikmati kerlap-kerlip lampu jalanan adalah suatu kebiasaanku. Naik motor bersama pacar, pelan, lirik kanan-kiri. Dan tak jarang, untuk menambah keceriaan, sering kualunkan lagu-lagu favoritku. Lalu pacarku, dengan kerasnya mengikutiku bernyanyi.
“Huusstt! Jangan keras-keras, nanti pada liat.” Lalu ia mencubit tanganku manja, kita tertawa terbahak-bahak memecah kesunyian malam.
Kuhentikan motorku di alun-alun, tempat favoritku untuk menghilangkan kebosanan. Aku yang saat itu tengah menatap bebas rumput hijau, tiba-tiba menerima tetesan air dari atas. Kecil, sedang, lalu membesar. Hujan. Deras. Dingin. Tanpa mantel, tanpa jas hujan.
“Say, kita berteduh di masjid dulu yuk!” Aku pun memeluk tubuhnya menuju masjid.
Kulihat ia menggigil.
“Kamu tidak apa-apa kan, Sayang?”
Ia diam. Tak menjawab. Kusandarkan kepalanya di bahuku, memeluk tubuhnya sekali lagi.
“Sabar, Sayang, sebentar lagi hujannya pasti reda.”
Sepasang tanganku semakin erat memeluknya.
Esoknya, kuhampiri rumahnya.
“Om, Ririnnya ada?” Tanyaku ke ayahnya.
“Ririn lagi di kamar. Dia sakit.”
Bak tersambar petir di siang bolong, aku kaget mendengarnya. Bergegas kuberlari ke arah kamarnya. Kulihat ia tergolek lemas di tempat tidur.
“Kamu kenapa, Sayang?” Kuusap kepalanya.
“Aku kena typhus.”
Tangisku meluap.
“Maaf, Sayang, aku baru ingat jika kamu tidak boleh terkena hujan.”
***
Aku memang benci hujan
Jam tujuh malam.Ponselku berbunyi. Di layar, tertera pacarku memanggil.
“Say, jadi nggak keluar? Buruan ya! Aku tunggu di depan kost.”
“Iya, sabar. Ini lagi mau ganti pakaian.”
Buru-buru kuambil baju di almari. Tak lupa kusemprotkan parfum hadiah dari pacarku.
Kulangkahkan kakiku menuju garasi. Saat hendak mengeluarkan motor, tiba-tiba…
Jedeeeerrr!!!
Langit muram. Tetesan gerimis berubah menjadi bulatan besar. Sial!Lagi-lagi harus bermusuhan dengan hujan.
“Say, maaf, di sini hujan. Sepertinya malam minggu kita batal lagi. Maaf ya!”
“Tuh kan bikinkesal lagi. Ini sudah yang ketiga kalinya kita nggak jadi malam mingguan. Sudah ah, kesal aku liatnya!”
Klik. Tuutt! Tuutt! Tuutt!
“Hallo, Say. Hallo? Hallo?”
“Kenapa hujan selalu menghalangiku untuk bertemu Ririn?”
***
Aku memang benci hujan
Hari itu, 5 Mei 2010. Hari ulang tahunnya.
“Say, aku tunggu di café dekat kampus ya! Ada sesuatu yang ingin aku berikan.” Ucapku sebelum pergi ke café Kongkow, sebuah café favorit kita.
Sesampainya di Café Kongkow, aku menyudut, duduk di bangku paling belakang. Lalu memesan minuman.
“Mba, coklat panasnya dua.”
Sengaja kupesan dua minuman. Coklat kental panas. Minuman favoritku, juga favoritnya.
Malam itu, café terlihat ramai. Lalu lalang pengunjung tak merusak konsentrasiku. Tatapanku terpaku pada pintu masuk, menunggu dia datang.
Dua jam berlalu. Kulirik jam di tangan kiriku, jam 23.00. Dia belum datang juga. Di luar, hujan muai menampakkan dirinya. Tetesannya membentuk tirai bening di jendela sebelahku. Kulihat hanya satu dua kendaraan sesekali melintas, dan pejalan kaki yang terlihat bergegas.
“Mas, sebentar lagi cafenya mau tutup,” suara pelayan mengagetkanku.
“Tunggu sebentar, Mba. Saya lagi menunggu seseorang.”
Kuambil ponsel di sakuku, mencari namanya di daftar kontak. Setelah namanya kutemukan, kutekan tombol “panggil”, namun tak ada jawaban. Mungkin kau sedang sibuk, pikirku saat itu. Kuulangi lagi, namun tetap tak ada jawaban. Untuk yang ketiga kalinya, kucoba untuk menelponmu lagi. Setelah nada sambung berakhir, akhirnya telepon kau angkat juga.
“Hallo.”
Suara seorang pria di seberang sana.
***
Aku memang benci hujan
Hari itu, Jum’at pagi, aku mendapatkan kabar baik. Ada hari libur kuliah selama satu minggu. Bagi seorang mahasiswa yang tinggal di negeri orang, libur satu minggu merupakan suatu kebahagiaan yang luar biasa. Kukabari orangtuaku bahwa aku akan pulang.
“Ma, hari ini Imam mau pulang, Ma!”
“Loh, pulang? Jangan dulu. Di sini mendung. Pulang besok pagi saja.”
“Ah, Mama. Di sini terang, Ma. Nggak mendung sama sekali. Imam mau pulang sekarang.”
“Ya sudah, terserah kamu saja. Hati-hati ya! Awas jangan ngebut!”
“Iya, Ma!”
Kubereskan semua bawaanku. Tak lupa kubawa oleh-oleh dari Purwokerto.
Wow, matahari siang ini begitu bersahabat denganku. Dengan santai, kukendarai motorku sembari melihat hijaunya sisi jalan. Baru setengah perjalanan, tiba-tiba ada yang menetes di punggung tanganku. Kutengadahkan kepalaku. Sial, langitnya keruh.
Breeessss!!!
Hujan pun turun dengan derasnya. Aku yang saat itu lupa membawa jas hujan, langsung mengebut untuk mencari tempat berteduh. Tapi naas, saat di tikungan, tiba-tiba…
Bruuukk!!!
Motorku terjatuh. Aku terpelanting. Kacamataku pecah. Darah keluar dari kaki dan tanganku. Di buram mataku, kulihat orang-orang berteriak, lalu lari menghampiriku. Tubuhku dibopong mereka.
“Tuhan, kenapa hujan selalu menyusahkanku?”
***
“Hey, lihat! Hujannya sudah berhenti.”
Ceritaku pun berhenti seiring datangnya sinar matahari ke dalam kamarku. Ia yang sedari tadi mendengarkan ceritaku, tiba-tiba berdiri, lalu merentangkan sayapnya.
“Hey, mau ke mana? Aku belum selesai cerita.”
“Hujannya sudah reda. Aku mau pergi. Tenang saja, aku pasti akan kembali jika hujan datang lagi.”
Kemudian ia mengepakkan sayapnya, lalu terbang menuju jendela. Di udara, ia pecah. Menjadi butiran air, lalu menghilang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H