Suasana libur kuliah selepas uas kali ini sedikit berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Selain ditandai dengan adanya pemilu di tanggal 14, barangkali situasi politik, ekonomi, dan pendidikan juga berpengaruh.
Hari ini, Jumat 16 Februari 2024, saya menyaksikan beberapa fenomena di kampus IPI Garut. Pertama, topik pemilu masih hangat diperbincangkan. Kedua, antrean mahasiswa di gedung rektorat. Ketiga, adalah wawancara BEM terkait ikhtiarnya menanggapi surat edaran.
Terkait pemilu, barangkali sudah kita ketahui bahwa hasilnya belum pasti. Beberapa orang mungkin suka terhadap quick count di televisi, sisanya sangat tidak suka. Saya sendiri menganggap quick count sebagai sesuatu yang biasa saja dan boleh dinikmati. Tetapi tak sedikitpun saya percaya hasilnya benar bahkan akurat. Bisa jadi itu sebagai alat politis juga, kan? Jadi, santai saja. Kendati demikian, akan lebih baik jika quick count itu tidak perlu ditayangkan televisi. Hehehe
Tentang antrean mahasiswa di gedung rektorat siang tadi, saya menyarankan proses pemeriksaan dan penyesuaian data bisa dilakukan secara daring. Selain untuk mengurangi lelah bagian administrasi, mungkin semua pihak bisa lebih efektif dan efisien menjalani prosesnya.
Topik ketiga, terkait wawancara oleh lembaga pers mahasiswa terhadap ketua BEM dan DPM. Beritanya sudah bisa diakses lewat akun instagram mereka. Setelah saya melihat postingan itu, muncul beberapa komentar yang pro-kontra, tentu saja. Ada yang pro terhadap ikhtiar BEM, ada juga yang pesimis bahwa upaya itu akan sia-sia. Mungkin ada juga yang setuju terhadap surat edaran kampus tentang batas minimal pembayaran semester beserta batas waktunya.
Saya sendiri tidak sepenuhnya kontra dengan peraturan yang diedarkan tersebut. Bagaimanapun, kampus swasta sangat membutuhkan dana dari mahasiswa untuk menjalankan aktivitas akademisnya. Bayangkan misalnya seluruh mahasiswa protes dan menunda pembayaran. Bagaimana mungkin pihak kampus dapat melanjutkan rutinitasnya tanpa mahasiswa beserta kewajiban administrasinya. Maka dari itu, kampus memang tidak salah mengedarkan peraturan agar mahasiswa segera melunasi kewajibannya. Tetapi, bukan berarti pihak kampus tidak menyediakan solusi bagi mahasiswa yang memang benar-benar belum mampu melunasi. Adapun terkait persentasi minimal pembayaran, barangkali itu sudah tidak perlu dicantumkan. Yang penting ada ikhtiar dari mahasiswa untuk membayar—melunasi, sekalipun tidak secepat keputusan Mahkamah konstitusi.
Bagi saya, kampus swasta seharusnya lebih enjoy terkait administrasi. Strategi agar enjoy, bukan dengan menekan mahasiswa, tetapi menumbuhkan keakraban dan kepercayaan. Jika antara mahasiswa dan pejabat kampus sudah saling akrab, saling memahami, maka administrasi tidak akan menjadi beban lagi. Penting bagi mahasiswa di kampus swasta untuk memahami bagaimana kampusnya bekerja dan mengelola keuangan. Bagaimana pun, kampus swasta tidak disubsidi atau mendapatkan kucuran dana yang setara dengan kampus negeri. Kemudian ada kewajiban kampus untuk membayar aneka pajak sekaligus listrik yang dibebankan pemerintah. Jadi, kalo kita merasa biaya kuliah di kampus swasta mahal, bukan karena kampusnya kapitalis atau berniat memeras. Melainkan ada keharusan yang menuntut kampus agar aktivitasnya stabil. Salah satu ketabilan kampus swasta adalah uang dari mahasiswa. Misalnya kita ingin protes, yang mestinya bertanggungjawab adalah pemerintah atau penyelenggara pendidikan pusat dengan kebijakannya.
Jumat, 16 Februari 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H