Lihatlah! Tubuh renta yang tak lagi kuasa menahan beban dunia. Kulit hitam semakin menggulung meninggalkan guratan berliku yang tak bersambung.
Sorot matanya pun tak lagi tajam, setajam mata elang gagah saat menerkam mangsa lengah. Wajahnya sendu laksana bulan yang sedang merindu.
Nyanyian “Pungguk Merindukan Bulan” tak lagi pun terdengar merdu bersama kidung pengikat kalbu. Bibir merah hitam tampak terengah, kembali mencoba meneriakkan gelora muda yang mengguncangkan semesta. Ingin rasanya berteriak, namun aksara tak mampu terkuak.
Kala itu, kaki masih tegak kuat berpijak di atas bara api milik Sang Wisanggeni. Kedua tangannya perkasa berkawat besi baja milik Sang Gatot Kaca. Dunia pun takluk di genggamanya. Berpacu mengejar waktu. Matanya bersinar memancar cahaya dunia yang tak pernah pudar. Wajah sumringah berbalut asa yang tak merasa jengah. Tak mengenal kata lelah, tak ada menyerah apalagi putus asa yang mencabik rasa.
Menikmati asam garam lautan kehidupan. Pahit, manis tak terdengar tangis meski hati menjerit hingga menembus langit. Menjemput uluran tangan Sang Maha Arif, dengan satu bekal keyakinan tentang keabadian. Menurutnya dunia tak berharga laksana fatamorgana. Hanya janji yang diberi, penerang jalan di bumi. Gerak kaki terus meniti jalanan yang bernama duniawi.
Gerak itu, terangkum rapi dalam catatan Ilahi, jalan hidup yang dijalani. Berjuang dan berbakti untuk negeri dan mereka yang dicintai. Tidak pernah ada rasa berpuas diri, hidup berdikari dan terus mengasah diri. Panas terik meski terasa sedikit menggelitik. Hawa dingin menghentak bersama angin menyusupi tubuh yang tak pernah rubuh. Tetap gagah perkasa laksana Sang Wiratama dengan seribu cahaya.
Terus berkarya di medan laga yang bernama dunia fana dengan bayang-bayang semu yang enggan bertemu. Menebar wangi bunga kasturi ke seluruh penjuru negeri. Menyayangi, menghargai, menghormati, berbakti dan mengabdi jadi pedoman diri. Meniti jalan menuju tujuan pasti.
Kini lihatlah! Wajah itu kian sendu. Bayang-bayang masa lalu tergambar berselimut rindu. Menggebu terbawa bersama lorong waktu yang telah berlalu. Menyatu dalam duka gembira yang mengembara bersama usia. Kala senja menghampiri tanpa jeda, diam seribu bahasa. Sadar, itu semua telah dilalui dalam meniti dan mengemban takdir dari Sang Maha Qodir. Sebuah jalan hamba untuk mereka yang dicintai bersama senyuman kasih sayang tak pernah usang hingga akhir kehidupan.
Sayangi orang tua kita saat masih bersama. Salam literasi.
Oleh : Imam Syafii
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H