Begini, koperasi yang menjadi mitra perusahaan perkebunan kelapa sawit tengah mengajukan diri untuk memperoleh sertifikasi RSPO. Perusahaan mitra siap membantu secara technical assistance sementara pembiayaan dari koperasi bersangkutan. Hal ini berkaitan dengan historis hubungan keduanya dalam skema Pola Perkebunan Inti Rakyat Transmigrasi (PIR Trans) berpuluh tahun silam. Peserta transmigrasi berasal dari Pulau Jawa yang mendapat jatah masing-masing kepala keluarga seluas tiga hektar dengan rincian dua hektar untuk kebun kelapa sawit, 0,75 hektar diperuntukkan bagi tanaman pangan, dan tapak rumah 0,25 hektar. Ke depan, Tandan Buah Sawit (TBS) hasil panen akan ditampung oleh Pabrik Kelapa Sawit (PKS) milik perusahaan mitra ayah angkatnya. Sebagai wadah bagi transmigran adalah koperasi-koperasi unit desa yang seiring laju pembangunan berkembang menjadi desa definitif dan pengelolaannya diserahkan ke pemerintah daerah setempat.
Pola pengalokasian lahan PIR Trans seperti di atas dimaksudkan agar transmigran tidak melulu menggantungkan hidupnya dari kebun kelapa sawit tapi juga mampu memproduksi pangan minimal untuk kebutuhan keluarganya. Jika konversi lahan pangan terlaksana, maka dengan hampir 500 KK (BPS Kecamatan 2021), akan diperoleh 375 hektar dengan rerata 1 ton TBS/ha diperoleh tambahan produksi 375 ton kemudian dikalikan sekian maka akan ada pemasukan tambahan sekian rupiah. Memang menggiurkan. Masalahnya, dengan mengonversi lahan pangan, maka ketersediaan lahan pangan jadi 0; dan ini beresiko rawan pangan apalagi dalam kerangka sertifikasi untuk prosperity and sustainability. Rencana koperasi untuk mengubah lahan pangan seluas 0,75 hektar menjadi kebun sawit menjadi temuan saat riset dan perlu diklarifikasi. Demikian hal ikhwalnya.
“Beras meski sistem tugal (tadah hujan), sayur mayur, buah-buahan, dan ternak ayam, kambing, sapi mudah ditemui. Tak perlu membeli. Tapi itu dulu. Sekarang, jangankan untuk menanam padi, sekedar tanam rambutan aja sulit karena lahan sudah habis. Dulu pekarang banyak bebungaan sekarang ya pokok sawit lah. Nah sekarang lahan tiga perempat (3/4) hektar itu akan dijadikan kebun sawit pulak dengan cara plasma. Sejujurnya sebagai tokoh saya kurang berkenan tapi apalah daya, era demokrasi mau tak mau ikut setuju”. Suasana hening sejenak demi mendengar uraian panjang Haji Hamid (demikian ia disebut dus bukan nama sebenarnya). But the show must go on. Ketua koperasi mengambil alih dan meneruskan tujuan pertemuan ini. “Seperti tadi yang saya sampaikan, rencana strategis ini sudah matang untuk dieksekusi tinggal gimana penilaian dari tim bapak”, katanya.
Sebenarnya sah-sah aja jika ingin mengonversi lahan pangan dengan komoditas sawit. Apalagi statusnya bukan lagi desa trans (hanya eks) dan status lahan pun hak milik sendiri (SHM). Persoalannya gimana dengan ketahanan pangan? Saat ini saja kebutuhan pangan dari beras, sayur, ikan daging bahkan air dipasok dari sistem pasar. Memang sih, infrastruktur jalan dan jembatan cukup mendukung dus kapasitas ekonomi warganya. Namun bicara ketahanan pangan juga memperhitungkan resiko-resiko yang mengancam ketahanannya, apalah jadinya jika terjadi kemarau panjang, paceklik, tetiba infrastruktur jembatan rubuh karena hujan lebat dan sungai menjadi air bah. Atau yang menjadi mimpi buruk, harga TBS ambruk. Resiko-resiko itu kami paparkan karena konsep HCV bukan hanya kelestarian alam tapi juga bagaimana manusia mempertahankan kehidupan secara berkelanjutan dan pangan adalah hal paling mendasar.
Empat pilar ketahanan dimulai dari ketersediaan lahan yang bisa ditanami agar bisa diakses, bermanfaat, dan stabilitas pangan terjaga. Kebutuhan sumber daya untuk produksi pangan bahkan menjadi salah satu prioritas dalam EOCD-FAO Agriculture Outlook 2023-2032 yang diejawantahkan menjadi sasaran pertama PP Swasembada Pangan sebagaimana dipresentasikan Direktur Pangan dan Pertanian Kementerian PPN/Bappenas RI (Jarot Indarto, 2024). Tegasnya, tanpa adanya lahan untuk tanaman pangan, ketahanan hanya mimpi buruk. Lha pada kasus ini ¾ lahan pangan yang sudah dimiliki malah akan dikonversi jadi sawit. Tak ada opsi lain kah?
Ada jeda hening sejenak sebelum seseorang tetiba bicara sesuatu. “Opsi yang mana lagi pak, wong lahan pekarangan rumah aja hiasannya sawit”, disambut derai tawa ringan.
“Desa kami pernah dapat program P2L, Pekarangan Pangan Lestari, yaitu program pemanfaatan lahan pekarangan sebagai sumber pangan, tanaman hias, dan kegiatan ekonomi produktif. P2L dikelola kelompok wanita tani (KWT) desa. Tapi karena lahan pekarangan juga terbatas, kami ajukan lahan yang berada di bawah tiang-tiang listrik PLN untuk ditanami tanaman pangan cabe dan sayuran. Cukup luas. Dengan jarak antartiang 40 meter dan lebar ±2,5 meter diperoleh area ±100 m2. Dengan deretan tiang listrik yang berdiri di sepanjang jalan desa, cukup banyak lahan tersedia untuk dikelola.
Alasan lain kami mengalihfungsikan lahan tanaman pangan menjadi kebun kelapa sawit juga karena gangguan hama terutama babi dan tikus yang sering merusak tanaman padi dan palawija. Kami juga bukan peladang tapi petani sawah irigasi. Jadi, saat bercocok tanam padi ladang, bulirnya sering tak berisi”.
Hmm, masuk akal karena memang jelas ada beda antara petani dan peladang sebagaimana para Antropolog mengomparasi keduanya dalam rangka pembangunan berbasis agraris. Tapi pemanfaatan lahan di bawah tiang listrik? Apa gak bahaya tha? Lalu gimana pula aturan perundang-undangannya mengingat sesuatu dan banyak hal, maka area di sekitar tiang listrik PLN haruslah redistricted area?
Mari kita telisik. Dengan jarak antartiang 40 meter dan lebar ±2,5 meter, maka akan diperoleh area ±100 m2 yang bisa dikelola. Bayangkan jika ada 100an tiang akan diperoleh 10.000 m2 lahan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan beserta peraturan pelaksananya, menyatakan bahwa PLN sebagai Badan Usaha Milik Negara yang melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum. Oleh karenanya, PLN berhak menggunakan dan melintasi di atas atau di bawah tanah milik orang dalam rangka usaha penyediaan tenaga listrik termasuk memasang tiang listrik; melintasi jalan umum dan jalan kereta api; masuk ke tempat umum atau perorangan dan menggunakannya untuk sementara waktu termasuk memotong dan/atau menebang tanaman yang menghalanginya.