Tahun 2022. Pokok-pokok sawit menghampar di kiri kanan jalan sejak kendaraan yang mengantar saya bersama tim mulai memasuki wilayah salah satu desa yang menjadi mitra perusahaan perkebunan kelapa sawit pola inti plasma di pelosok Provinsi Riau. Teriknya matahari langsung menyergap begitu kami keluar dari kendaraan untuk masuk menuju salah satu kantor koperasi yang menjadi representatif petani kelapa sawit (baca pekebun swadaya) untuk bermitra dengan perusahaan perkebunan dimaksud.
“Silahkan masuk”, sambut lelaki paruh baya yang besar kemungkinan salah satu pengurusnya. “Di dalam lebih sejuk karena ada AC yang byar-byar-byar”. Tangannya turut bicara memeragakan. Dengan tawa ringan, kami pun masuk. Tangan saling bersalam dan ringan berbasa-basi bertanya kabar.
“Memang seperti ini cuacanya kalo siang, panas terik. Konon katanya akibat pohon sawit yang rakus air”, kata ketua koperasi setelah memperkenalkan diri.
“Para ahli menyebutnya water footprint; tanaman boros air. Tapi fakta ilmiah menyebutkan bahwa kelapa sawit itu boros air ternyata mitos lho pak. Itu hasil penelitian dan kelapa sawit pun bukan ancaman terhadap sumber daya air”, temanku menimpali ucapan ketua koperasi.
“Iya saya dengar seperti itu informasinya. Tapi fakta lapangan ya seperti yang kami alami ini, panas kering beda di daerah lain yang masih banyak pepohonan non sawit. Jujur saja, saat kemarau seperti sekarang ini sumur-sumur warga juga banyak yang kering. Sore hari, mobil-mobil mewah seumpama fortuner, pajero sampe inova rebound hilir mudik ke tepi sungai untuk ambil air karena kalo sedot pake selang terlalu jauh”, laki-laki muda yang memperkenalkan diri sebagai bendahara koperasi seolah ingin membantah klaim no water footprint kelapa sawit. Seolah memutus debat hal yang bukan tujuan, ketua mengajak untuk memulai acara. “Mari kita mulai saja”, ajaknya sambil bangkit lalu melangkah menuju ruang yang tertera judulnya ruang rapat.
Saya sempatkan sejenak merenungi ucapan bendahara koperasi soal kondisi udara atau katakanlah hawa panas yang selalu terasa di area perkebunan kelapa sawit. Tapi maaf, saya bukan hendak memperdebatkan hasil kajian water footprint di perkebunan kelapa sawit. Mungkin benar beberapa penelitian yang dilakukan membantah statement sawit boros air tapi fakta bahwa udara kerap lebih panas sepertinya nyata. Area kebun kelapa sawit dan sekitarnya memang cenderung panas kering. Mungkin akibat penguapan tinggi sehingga udara jadi jenuh dengan uap air. Gerah pengap seperti hendak turun hujan. Dan situasi ini bukan hanya di daerah yang tengah kami riset ketahanan pangannya untuk HCV-HCS dalam rangka sertifikasi RSPO. Desa lain yang berada di sekitar perusahaan perkebunan--bahkan kebun perusahaan--yang kami riset, pun mengalami situasi yang sama. Hawa panas dan air relatif sulit, dalam arti mudah surut saat musim kemarau tapi melimpah saat hujan (baca banjir).
“Bisnis air isi ulang laris manis di desa ini. Hampir di setiap rumah punya usaha air isi ulang, termasuk sekretaris kita ini sampe ada dua unit bisnis air isi ulangnya”. Orang yang disebut cuma nyengir. “Perekonomian kami 100% diperoleh dari kebun kelapa sawit dan turunannya. Pengepul, bisnis angkut TBS, pupuk, pestisida sampe distributor bibit tersedia”.
Lagi, memori yang tadi diperoleh selama perjalanan kembali membayang dalam wujud rumah-rumah beton bertingkat dengan halaman luas, pagar tinggi, dan garasi lebar. Bahkan usaha bensin eceran berlabel Petromini dibangun semirip SPBU Pertamina dengan atap dan tak lupa mini market serta cafénya. Seliweran mobil-mobil ber CC besar hingga truk pengangkut TBS yang hilir-mudik konon milik beberapa toke pengepul meski berkelindan dengan kepulan debu akibat jalan tak beraspal. Pun ada, aspal lama dengan kelupas di sana-sini. Memang ada kecenderungan jalan-jalan di desa sentra kelapa sawit selalu berupa jalan tanah perkeras atau timbunan sprite bonus kepulan debu menyesakkan. Sumbangsih perusahaan yang berbatasan dengan wilayah administrasi terhadap jalan biasanya timbunan cangkang sawit untuk menutup lubang-lubang yang sering menjadi kubangan saat musim hujan. Ironis memang. Ups sudahlah karena terlepas dari stereotif itu, fakta sosial ekonomi menunjukkan bahwa desa-desa sentra sawit seperti yang tengah saya kunjungi ini memang makmur karena sawit yang bukan hanya bertanam tapi bermetamorfosis menjadi industri perkebunan.
“Bapak-bapak semua, usulan saat rapat tahunan ini kami godok selama lebih dua tahun untuk merealisasikannya, termasuk berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait seperti dinas perkebunan, dinas koperasi dan transmigrasi. Dapat persetujuan karena pada dasarnya kami bukan lagi desa transmigran tapi sudah menjadi desa definitif yang otonom dan mandiri.
Gayung seolah bersambut saat mitra kita (menyebut perusahaan perkebunan kelapa sawit) menyetujui dan siap bekerjasama bahkan sudah pada tahap SPK. Terus terang pak bapak, ini bukan keinginan koperasi tapi warga yang menjadi anggota koperasi. Jadi, gimana ya, mohon dipahami”.
Pembaca yang budiman, setelah menelusuri deretan kata yang menjadi kalimat lalu menggandakan diri jadi paragraf, mungkin bertanya-tanya apa gerangan yang dibahas dalam artikel ini? Apakah ini cerita pendek (Cerpen) atau feature atau reportase atau apalah tapi ya itu, apa sih yang diomongin?