Terkait rencana penghapusan sementara atau moratorium Ujian Nasional (UN) oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, terhitung mulai tahun 2017, saya sangat setuju, bahkan kalau bisa tidak bersifat sementara, namun seterusnya. Selama ini, pelaksanaan UN lebih banyak menimbulkan hal-hal yang negatif dibandingkan manfaatnya.
UN hanya menjadi beban mental dan psikis tahunan bagi siswa, guru dan orang tua. Sehingga orientasi belajar hanya untuk sukses UN. Maka, tidak heran jika demi nilai UN, beberapa oknum sekolah, dinas maupun siswa dan orangtua melakukan berbagai macam kecurangan. Belum lagi persoalan besarnya anggaran yang dibutuhkan, infrastuktur, SDM dan persoalan teknis lainnya, yang selama ini selalu gaduh setiap tahunnya.
Jika UN dijadikan parameter untuk pemetaan mutu program atau satuan pendidikan, itu pun tidak tepat. Pasalnya UN, merupakan uji kompetensi siswa yang lebih didominasi para ranah pengetahuan atau kognitif, sehingga tidak bisa mengukur kemampuan siswa secara menyeluruh atau holistik. Soal-soal yang bersifat kognitif atau kecakapan intelektual pun masih di level yang rendah (baca: Taksonomi Bloom), yaitu bersifat hafalan dan pemahaman saja.
Belum sampai pada tahapan soal-soal yang memuat aspek aplikasi keilmuan, analisis, evaluasi dan kemampuan mencipta siswa. Lalu, bagaimana dengan kompetensi siswa yang lain, yang sekarang ini justru menjadi prioritas untuk ditingkatkan, yaitu kompetensi sikap (afektif) spiritual, sosial dan keterampilan (psikomotorik) siswa? Apakah dengan UN yang hanya menguji mata pelajaran tertentu dengan soal-soal berupa pilihan ganda, dapat mengukur semua aspek kemampuan pada diri siswa? Tentu jawabannya tidak bisa.
Evaluasi Berbeda dengan Ujian
Padahal, jika UN digunakan sebagai instrumen evaluasi pendidikan, sungguh tidak menyasar lagi. Evaluasi berbeda dengan ujian. Evaluasi bicara perbaikan desain pembelajaran untuk peningkatan mutu ke depannya. Evaluasi tidak hanya menilai pada hilir atau hasil akhir, tetapi juga hulu dan proses yang berlangsung. Justru yang terpenting sekarang, jika ingin meningkatkan standar mutu pendidikan nasional, harus dibenahi dulu standar prosesnya.
Berbicara proses tentu saja terkait dengan strategi dan metode pembelajaran, penggunaan media atau alat peraga edukasi dan suasana pembelajaran yang semuanya bermuara pada kualitas atau kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran. Nah, ini yang mesti dievaluasi sebelum masalah hasil belajar, yaitu apakah proses pembelajaran yang dialami siswa sudah tepat dan efektifkah? Dan inilah sebenarnya tugas utama pemerintah, yaitu memperbaiki kualitas pembelajaran yang dilakukan oleh guru, tentu saja dengan dukungan sarana dan prasarana yang memadai.
Maka, menurut hemat saya, urusan penilaian, kembalikanlah kepada guru dan sekolah. Merekalah yang selama ini berproses bersama siswa, dan mereka pula yang berhak menilai hasil akhir belajar sekaligus menentukan kelulusan siswa. Hal ini selaras dengan tugas dan fungsi guru yang telah diatur dalam undang-undang, yaitu mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik serta menetapkan keputusan tentang layak atau tidak dalam hal penentuan kenaikan kelas dan kelulusan. Di sini menjadi jelas, jika model UN tetap diterapkan, maka sebagian kewenangan guru menjadi hilang, khususnya masalah urusan menilai dan mengevaluasi peserta didik.
UN Hanya Berganti Baju
Dengan dasar ini, tentu saya kurang sependapat jika UN telah dihapus, tetapi dimunculkan ujian versi daerah, baik yang digelar oleh provinsi maupun kabupaten/kota. Saya khawatir, sistem dan polanya sama dengan UN, hanya kewenangannya saja yang dipindah ke daerah. Jadi, pada ujung-ujungnya tetap ada ujian berstandar nasional, tetapi dengan baju atau kemasan yang berbeda. Ini yang menurut saya perlu menjadi perhatian ke depan. Maka, kebijakan penghapusan UN oleh pemerintah, jangan hanya bersifat teknis dan administratif, tetapi harus pada substansi, ruh dan filosofi pendidikan itu sendiri.
Mari, kita kembali ke konsep pendidikan untuk semua (education for all), pendidikan berpusat pada anak, pendidikan yang humanis dan pendidikan yang ramah anak. Sungguh ini selaras dengan falsafah konstitusi kita, yang tidak mengenal diskriminasi dalam pendidikan. Mari, proses pendidikan yang kita lakukan menggunakan pendekatan kebutuhan, potensi dan minat anak. Kurikulum dan metode pembelajaranlah yang harus menyesuaikan kebutuhan anak, bukan sebaliknya, termasuk dalam hal penilaian.
Semua harus disesuaikan dengan kondisi kemampuan anak. Perlu diingat bahwa, kecapakan intelektual hanya menjadi salah satu aspek kemampuan siswa, itu pun setiap anak memiliki level yang berbeda-beda, ada yang cerdas istimewa, cerdas, sedang atau biasa, kurang dan bahkan ada yang kurang sekali, atau dalam dunia pendidikan luar biasa, disebut anak tuna grahita. Haruskah mereka yang tidak cerdas intelektual tersingkir dari sistem pendidikan bumi pertiwi? Sungguh kita menjadi bangsa yang kejam, jika mengabaikan potensi yang dimiliki oleh setiap anak Indonesia. Maka, seandainya ujian lokal atau daerah tetap akan diselenggarakan, harus memperhatikan aspek-aspek di atas, yaitu berbasis pada keberagaman kondisi siswa secara utuh, sekolah dan lingkungan tempat tinggalnya.