Di masa orientasi ini, bukan hanya menuntut siswa untuk mengenal dan beradaptasi dengan lingkungan sekolah, tetapi juga menuntut guru untuk mengenal dan memahami karakteristik siswa per individu. Â Â Â Â Â Â
Hari-hari pertama masuk sekolah biasanya diselenggarakan masa orientasi siswa (MOS), terutama bagi para siswa baru. Kegiatan MOS yang dahulu identik dengan perpeloncoan siswa, kini diubah namanya menjadi pengenalan lingkungan sekolah (PLS). Oleh karena itu, untuk mendukung program ini, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan berupa Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 18 tahun 2016 tentang Pengenalan Lingkungan Sekolah bagi Siswa Baru.
Permendikbud ini membawa semangat untuk menghilangkan kegiatan yang berupa perpeloncoan dan lebih menekankan pada aspek edukasi dan kreativitas siswa yang menyenangkan. Masa orientasi siswa benar-benar diarahkan untuk membangun keakraban antarwarga sekolah serta mengenalkan lingkungan dan budaya sekolah.Â
Program ini juga diharapkan sebagai ajang untuk menumbuhkan karakter positif anak, seperti nilai kejujuran, integritas, kemandirian, sikap saling menghargai, menghormati keanekaragaman dan persatuan, kedisiplinan, budaya hidup bersih dan sehat, etos kerja, dan semangat gotong royong.
Sejalan dengan itu, program pengenalan lingkungan sekolah menjadi sangat penting dan strategis jika dikaitkan dengan sistem penerimaan siswa baru berbasis zonasi. Pasalnya, dengan kebijakan sistem zonasi, sekolah akan menerima murid yang sangat beragam atau hiterogen. Jika sebelum menerapkan zonasi, sekolah-sekolah akan terpolarisasi berdasarkan input atau masukan siswanya. Maka di masyarakat muncul istilah sekolah favorit atau unggulan dan sekolah buangan atau ecek-ecek.Â
Kategori sekolah ini lebih didasarkan pada tingkat kemampuan siswa yang diterima, sekaligus nantinya output atau keluaran yang akan dihasilkan. Dan parameternya adalah angka-angka nilai hasil ujian di atas kertas.
Polarisasi sekolah inilah yang juga ingin dihapus oleh pemerintah melalui penerapan sistem zonasi. Nilai-nilai ujian nasional tak lagi dijadikan untuk instrumen seleksi, melainkan dasarnya adalah lokasi tempat tinggal atau jarak sekolah dengan rumah siswa.Â
Selama ini, banyak dijumpai, ada anak yang rumahnya berhadap-hadapan dengan sekolah favorit, tetapi hanya bisa melihat lalu-lalang anak-anak dari daerah lain belajar di sekolah tersebut. Sementara dia yang terbatas kemampuan akademisnya -- ditambah dari keluarga miskin pula, hanya bisa mengenyam bangku sekolah di pinggir kota yang sangat jauh lokasinya. Inilah bentuk pemerataan dan keadilan akan akses pendidikan yang ingin diwujudkan oleh pemerintah.
Hanya saja, dalam pelaksanaannya di lapangan, sistem zonasi banyak ditentang oleh masyarakat, karena disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kesiapan pemerintah daerah dalam mendata jumlah lulusan siswa dan kuota sekolah lanjutan, pola pikir masyarakat yang masih academic minded, dan ada unsur kelalaian pemerintah di dalam meningkatkan mutu sekolah secara merata. Sehingga kegaduhan terjadi ketika masa pendaftaran siswa baru, dan barangkali sampai sekarang masih ada ketidakpuasan dari orangtua terhadap sekolah yang didapatkan anaknya saat ini.
Zona Prestasi dan Empati
Terpenting saat ini, siswa telah menemukan habitat belajarnya. Terlepas apakah sekolah tersebut sesuai dengan harapan dan keinginannya atau tidak. Justru ini menjadi tantangan, tidak hanya bagi siswa itu sendiri, melainkan juga bagi guru dan orangtua. Terutama pihak sekolah, di masa orientasi ini, para guru harus mampu meyakinkan kepada para siswa barunya untuk cinta dan bangga terhadap sekolah, sekaligus memberikan motivasi belajar yang kuat sesuai bakat, minat, dan potensi masing-masing.