Mengapa saya tertarik membahas para penceramah agama yang biasanya berdiri di atas mimbar dan memegang mikrofon atau pengeras suara di hadapan massa jemaah? Karena acapkali panggung kecil tempat berkhotbah ini sering dijadikan media sosialisasi, bahkan "kampanye" ketika jelang pemilihan presiden (pilpres), pemilihan kepala daerah (pilkada), dan pemilihan legislatif (pileg).Â
Dari sini akan muncul fatwa-fatwa dan petuah yang intinya mengajak kepada para jemaah untuk mendukung dan memilih calon tertentu.
Maka tak heran, jika jauh-jauh hari Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta para khatib, khususnya khatib salat Jumat atau hari raya Islam untuk tidak menyampaikan khotbah yang berbau politik praktis.Â
Padahal kita tahu, jelang Pilpres dan Pileg 2019, mimbar di masjid akan sering digunakan untuk khotbah atau ceramah para khatib, seperti khotbat Jumat, pengajian akbar, kajian rutin, kuliah subuh, dan ceramah keagamaan lainnya. Dan kita tak bisa menjamin, para khatib tidak bicara politik praktis di dalam ceramahnya.
Memang, jelang pilpres dan pileg ini, para ustaz, kiai, mubalig, dan ulama sangat gencar didekati oleh tim sukses calon presiden (capres) dan para calon anggota legislatif. Mereka tak segan-segan menjanjikan "sesuatu" bahkan ada yang memberinya di muka untuk sang pengkhotbah.Â
Meskipun tak sedikit yang karena inisiatif pribadi, menyuarakan calon pemimpin idamannya dan diutarakan kepada jemaah melalui mimbar. Sehingga tidak dipungkiri, para khatib akhirnya lebih memilih tema khotbahnya tentang mencari pemimpin yang ideal, dan di ujung-ujung ceramahnya mengetengahkan kriteria figur yang layak untuk dipilih.Â
Tinggal dilihat saja, apakah khatib tersebut berani vulgar atau terang-terangan mendukung atau menolak calon tertentu, ataukah dengan cara halus, seperti kiasan, perumpamaan, sindiran, yang didukung dengan dalil-dalil yang menguatkan.
Seharusnya, tema khotbah Jumat di masjid untuk sekarang-sekarang ini lebih fokus tentang pentingnya silaturahmi, ukhuwah, persaudaraan, persatuan, cinta tanah air, dan cinta terhadap sesama, sebagai salah satu indikator dari nilai ketakwaan terhadap Tuhan. Bukan isi khotbah yang justru mengarah pada keterbelahan dan pengkotak-kotakan di masyarakat.
Hal inilah yang menurut saya cukup mengkhawatirkan, bahwa katalisasi dan polarisasi menuju keterbelahan bangsa semakin tampak adanya. Perang gambar dan diksi pro dan anti Islam pun terjadi di mana-mana.Â
Tak hanya di media massa atau media sosial, di jalan-jalan besar, di gang-gang kampung, di rumah-rumah, bahkan di masjid-masjid sudah terjadi perang spanduk antarpendukung.Â
Ditambah pula, Pos Komando (posko) tim pemenangan antara kedua kubu saling berdekatan. Tentu sangat rawan terjadinya konflik sosial yang menjurus pada kontak fisik antarpendukung fanatik.