"Menyejukkan, meneduhkan, namun gamblang dan detail." Itulah ciri khas gaya penyampaian sosok Habib Alwi bin Ali Al Habsyi, biasa akrab disapa Ustaz atau Habib Alwi, ketika menjelaskan tentang hukum-hukum Islam, maupun ketika menceritakan sejarah Rasul dan sahabat.Â
Sungguh, saya merasakan aura yang penuh hikmah, tatkala hadir di majelis ilmu yang beliau pimpin. Terkadang, air mata ini tak terasa telah menggumpal di pelupuk mata, manakala beliau menceritakan kisah seorang sahabat, yang begitu cinta dan taatnya kepada Rasul Muhammad SAW.Â
Momentum bulan Rabiul Awal, yang biasa disebut bulan maulid atau bulan kelahiran Rasul, adalah saatnya setiap orang yang mengaku muslim untuk mengenal dan memahami lebih dalam tentang sosok teladan sepanjang hayat itu. Menurut Habib Alwi, yang juga pengasuh Majelis Taklim Al Hidayah Solo ini, bahwa sosok Rasul adalah memang manusia seperti kita, namun kedudukan dan derajatnya tidak seperti manusia biasa.Â
Rasul adalah manusia istimewa dan sempurna. Bukan hanya akhlak atau kepribadiannya, namun juga kecerdasannya, kemuliaan hatinya, bahkan tubuh atau fisiknya pun sempurna. Hembusan nafasnya harum, wajahnya indah dan rupawan, hidungnya seperti terlukiskan huruf alif, dan bibirnya seperti huruf mim. Maka sulit bagi kita untuk bisa menggambarkan sosok Rasul dengan segala keindahan bentuknya.Â
Cerita tentang Rasul memang bukan masalah keindahan fisik semata, namun bagaimana kita bisa meneladani jejak Rasul dengan segala risalah yang diembannya. Namun penting bagi kita, adalah menanamkan rasa cinta kepada Rasul, sebagaimana besarnya rasa cinta para sahabat terhadap Nabi. Mereka cinta dan patuh luar biasa kepada Nabi. Bahkan seorang kaum kafir Quraisy menyatakan, "Saya tidak pernah melihat besarnya cinta kepada seseorang, selain cintanya sahabat terhadap Rasul."
Kemudian Habib Alwi mengisahkan tentang cerita sahabat Nabi, bernama Abu Sulaimah. Abu Sulaimah adalah bekas budak yang secara fisik tidak menarik. Tubuhnya kecil, kulitnya hitam, dan wajahnya jauh dari kata "ganteng".Â
Namun, kekurangan pada fisiknya, tak lantas membuatnya tidak percaya diri untuk berani mengungkapkan cintanya pada seorang gadis primadona nan cantik saat itu, yaitu putri Abu Lubabah. Maka disampaikanlah niatnya tersebut kepada Nabi. "Wahai Nabi, kira-kira, apakah saya pantas untuk melamar putri Abu Lubabah yang cantik dan rupawan, sementara telah banyak pria atau sahabat yang lain, yang lebih segalanya dari saya, mereka gagah, punya kedudukan, banyak harta, namun ditolak oleh Abu Lubabah. Apakah saya layak untuk mendapatkan putrinya?"
 Kemudian Nabi menjawab, "Ooh, sangat layak, kenapa tidak!" Tetapi, Abu Sulaimah tidak langsung mengiyakan perkataan Rasul saat itu, hingga di hari lain ditanya lagi oleh Nabi. "Wahai Abu Sulaimah, apakah Engkau sudah nikah?" "Belum ya Rasul," jawab Abu Sulaimah.Â
"Baiklah, mari saya antar untuk melamar putri Abu Lubabah yang Engkau damba itu," kata Rasul. Itulah hati dan perasaan Nabi, yang tak mau melihat sahabatnya sedih dan kecewa. Beliau selalu mengedepankan rasa empati dan respek yang luar biasa terhadap umatnya, terlebih para sahabatnya.
Akhirnya, jadilah Abu Sulaimah ditemani Nabi datang ke rumah Abu Lubabah. Dan bukan main senangnya Abu Lubabah ketika dikunjungi Rasul, karena dia merasakan rumahnya bertambah terang benderang penuh cahaya. Bahkan gembiranya bukan kepalang, tatkala Rasul menyatakan untuk melamar putrinya. "Sungguh kehormatan yang luar biasa ya Rasul, atas anugerah ini," demikian ungkapan Abu Lubabah.Â
"Iya, saya melamar putri Engkau untuk sahabat saya ini, yaitu Abu Sulaimah," kata Rasul. Sejurus kemudian, wajah Abu Lubabah berubah, karena melihat sosok Abu Sulaimah yang jauh dari ekspektasi untuk kriteria calon menantunya. "Sebentar ya Rasul, saya perlu mendapatkan persetujuan dari istri saya," kata Abu Lubabah. Dan ketika berdiskusi di ruang dalam bersama istri, tiba-tiba putri Abu Lubabah muncul dan menyatakan bersedia untuk dipersunting Abu Sulaimah.Â