Mohon tunggu...
Imam Subkhan
Imam Subkhan Mohon Tunggu... Penulis - Author, public speaker, content creator

Aktif di dunia kehumasan atau public relations, pengelola lembaga pelatihan SDM pendidikan, dan aktif menulis di berbagai media, baik cetak maupun online. Sekarang rajin bikin konten-konten video, silakan kunjungi channel YouTube Imam Subkhan. Kreativitas dan inovasi dibutuhkan untuk menegakkan kebenaran yang membawa maslahat umat. Kritik dan saran silakan ke: imamsubkhan77@gmail.com atau whatsapp: 081548399001

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menggagas Kurikulum "Tandingan"

9 Januari 2015   18:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:28 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Jika tidak bisa dikatakan sebagai sebuah peradaban atau era baru, setidaknya bangsa Indonesia saat ini sedang memperkenalkan sebuah budaya baru, bernama “tandingan”. Bahkan kata-kata tandingan telah sekian lama menjadi trending topic di media sosial. Sekadar menyamakan persepsi, bahwa budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan pada akhirnya akan diwariskan dari generasi ke generasi. Dan budaya bisa terbentuk dari banyak unsur yang rumit, salah salah satunya tercipta dari sistem perpolitikan yang sedangberkembang. Sedangkan kata tandingan bisa berarti yang seimbang, sama atau sebanding, juga bisa diartikan pasangan (sumber KBBI). Walaupun jika ditelisik lebih jauh, munculnya budaya tandingan di Indonesia saat ini bukan bersumber dari masyarakat bawah, melainkan terpercik dari ambisi dan nafsu segelintir elit partai politik dan koalisinya untuk merebut pengaruh politik dan kekuasaan.

Mulai dari keberadaan DPR tandingan ala Koalisi Indonesia Hebat (KIH), akibat mosi tidak percaya terhadap pimpinan dewan baru yang dikangkangi oleh Koalisi Merah Putih (KMP). Persaingan dua koalisi tersebut kemudian merembet juga ke DPRD DKI Jakarta, dimana KMP membuat rapat paripurna tandingan, untuk memperkarakan pengangkatan dan pelantikan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjadi gubernur Jakarta. Lucunya, ketidakpuasan terhadap Ahok memimpin Jakarta, mereka lampiaskan dengan menunjuk Ketua Gerakan Masyarakat Jakarta (GMJ), Fachurrozi, sebagai gubernur tandingan. Dan parade budaya politik tandingan berikutnya menimpa tubuh partai politik, yaitu PPP dan terakhir, Partai Golkar, yang kedua kubu sama-sama mengklaim keabsahannya.

Ternyata, budaya tandingan bukan hanya terjadi di arena politik, tetapi juga menimpa dunia olahraga. Tentu masih segar di ingatan publik tentang kisruh di tubuh PSSI, yang kemudian melahirkan pengurus PSSI tandingan, antara kubu Djohar Arifin dan kubu La Nyalla. Sekarang pertanyaannya, apakah budaya tandingan ini juga akan berimbas ke ranah pendidikan? Pasalnya, dunia pendidikan kita saat ini masih dihebohkan oleh penjelmaan “makhluk” yang kehadirannya antara dinanti dan dimaki, bernama K-13 alias Kurikulum 2013.

Pemberlakuan K-13 yang semula diprediksikan bakal berjalan lancar dan aman-aman seja, ternyata harus terseok-seok di tengah jalan, terutama semenjak pergantian pemerintahan yang baru. Setelah, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) yang baru, Anies Baswedan melakukan blusukan ke sekolah-sekolah, barulah terungkap tentang ketidakberesan implementasi K-13. Pendekatan Anies yang lebih terbuka dan aspiratif terhadap berbagai masukan di lapangan, terutama dari kalangan guru, bagai membuka kran suara-suara sumir dari pihak-pihak yang selama ini merasa menjadi kelinci percobaan pemberlakuan K-13. Bentuk pemaksaan K-13 di sekolah semakin terang-benderang, tatkala bermunculan berbagai kendala, mulai dari pengadaan dan distribusi buku pegangan, kualitas dan durasi pelatihan untuk guru-guru, serta sistem pendampingan dan pengawasan. Ternyata bukan hanya pada tataran persoalan teknis implementasi, dari segi kandungan atau standar isi pun (baca: kompetensi inti dan kompetensi dasar), K-13 masih bermasalah, termasuk sistem penilaian hasil belajar siswa yang dianggap terlalu rumit dan menyulitkan para guru.

Solutif

Langkah penghentian penerapan K-13 untuk sementara waktu dan hanya terkonsentrasi di 6.221 sekolah rintisan atau percontohan, menurut saya adalah langkah yang tepat. Di luar itu, sekolah-sekolah non rintisan dibebaskan untuk kembali menerapkan kurikulum sebelumnya, yakni Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Tahun 2006, yang tentu saja sekolah lebih siap. Untuk meredam kebingungan dan kegamangan sekolah-sekolah maupun pengambil kebijakan di daerah mengenai duo kurikulum, pemerintah akhirnya mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 160 Tahun 2014, tentang Pemberlakuan Kurikulum Tahun 2006 dan Kurikulum Tahun 2013.

Lahirnya Permendikbud ini sekaligus menegaskan tentang bagaimana akomodatif dan demokratisnya pemerintahan sekarang dalam mengelola pendidikan. Di mana kesiapan dan kualitas sekolah, dalam hal ini guru-guru, jauh lebih penting dan mendesak, daripada memaksakan kurikulum yang setengah matang ini. Bahkan, di Pasal 2 Ayat 3 Permendikbud tersebut menjelaskan, bagi sekolah-sekolah rintisan yang dirasa belum siap melaksanakan K-13, juga disilakan untuk kembali ke Kurukulum Tahun 2006 dengan cara melapor ke dinas pendidikan setempat. Selain berupa peraturan, langkah solutif lainnya, Mendikbud telah mengeluarkan surat edaran ke sekolah-sekolah dan pemerintah daerah tentang status K-13, termasuk nasib buku-buku yang terlanjur beredar dan dipesan ke pihak penyedia.

Kreativitas sekolah

Menurut penulis, keberadaan Permendikbud Nomor 160 ini justru memantik kreativitas bagi satuan pendidikan untuk berlomba-lomba menjadi yang terbaik, terutama perbaikan pada komponen standar isi dan proses penyelenggaraan pendidikan. Kembalinya ke KTSP 2006, sesungguhnya memberikan otonomi dan kesempatan seluas-luasnya kepada sekolah untuk menggagas kurikulum “tandingan”, di mana tiap sekolah memiliki keunikan dan kekhasan yang berbeda-beda. Di KTSP 2006, pemerintah hanya mendominasi pada penentuan standar kompetensi lulusan (SKL) dan standar isi (SI). Sedangkan pengembangan silabus, indikator pencapaian, materi pembelajaran, alokasi waktu, penilaian dan sumber belajar diserahkan sepenuhnya ke pihak sekolah untuk mengelaborasi dan memodifikasi sesuai keunggulan dan kekhasan lokal masing-masing sekolah. Bahkan sekolah diberi keleluasaan untuk mengembangkan mata pelajaran muatan lokal (mulok) dan pengembangan diri yang lebih akseptabel bagi kebutuhan siswa di lingkungannya. Berbeda dengan K-13, yang terkesan kaku, instan dan doktrinisasi, dimana sekolah tidak diberi kewenangan lebih untuk mengembangkan kurikulum sendiri. Sehingga di K-13, ketergantungan terhadap buku pegangan dari pusat sangat tinggi. Efeknya, kreativitas sekolah dan guru semakin terpasung.

Sebagaimana diketahui, sejak bangsa ini merdeka hingga era reformasi saat ini, setidaknya Indonesia telah menerapkan 11 kurikulum. Hampir bisa dipastikan, setiap ganti menteri, maka ganti kurikulum juga. Sehingga anggapan bahwa penggantian kurikulum lebih didasari pada kepentingan bisnis proyek anggaran, bisa jadi tidak terelakkan. Walaupun perubahan kurikulum sesungguhnya sebagai respon atas dinamika perkembangan ilmu pengetahuan dan kebutuhan masyarakat. Tentu kita berharap, menteri pendidikan yang sekarang tidak latah untuk mengganti kurikulum yang sudah ada. Pasalnya, rendahnya kualitas pendidikan kita, bukan semata-mata kesalahan pada kurikulum, tetapi pada kualitas guru atau pendidik, sebagai ujung tombak dan pelaksana pendidikan. Dan kita bersyukur, Anies Baswedan yang juga penggagas program Indonesia Mengajar ini, sudah menyadari sejak awal, akan dominasi peran guru di dalam menghasilkan generasi bangsa yang unggul.

Sebelum lahirnya Kurikulum 2006, dunia pendidikan kita terpola sentralistik, di mana pusat terlalu menghegemoni dengan kebijakan-kebijakan yang diambil, sehingga mengebiri kreativitas daerah dalam mengembangkan konsep dan program pendidikan yang lebih menghargai kearifan lokal. Kepala sekolah dan guru-guru terkesan dicekokki oleh barang instan dari pusat, bernama kurikulum yang seolah-olah suci dan tanpa cela untuk dapat dilaksanakan dengan sepatuh-patuhnya. Dan menurut saya, pemberlakuan K-13 hanya akan mengembalikan superioritas penguasa, yang justru semakin memanjakan guru untuk hanya memedomani standar operasional prosedur (SOP) yang ditetapkan oleh pusat berupa buku pegangan, tanpa bisa dan tak ada waktu untuk mengembangkan kreativitas dalam mencipta dan mengemas muatan materi pembelajaran. Walaupun secara standar proses atau metode, penerapan K-13 sangat mendorong siswa untuk berpikir kritis, ilmiah dan membangun karakter anak. Dan menurut saya, aspek pemberdayaan siswa ini yang mesti dilanjutkan ke depan.

Oleh karena itu, keluarnya Permendikbud Nomor 160 Tahun 2014 ini harus dimaknai sebagai peluang dan tantangan bagi segenap institusi pendidikan dan pemangku kepentingan di dalamnya, untuk menyelenggarakan pelayanan pendidikan yang lebih bermutu kepada masyarakat. Kebebasan memilih K-13 atau KTSP 2006, tentu saja memberikan kesempatan bagi sekolah-sekolah untuk mencipta kurikulum “tandingan” yang lebih menyempurnakan dari kurikulum pusat, sekaligus bisa menjawab kebutuhan siswa secara aktual. Hal ini juga akan memacu antar sekolah untuk berkompetisi secara sehat dalam memberikan pendidikan terbaik bagi generasi bangsa. Dan hanya sekolah-sekolah yang kreatif dan berkualitaslah yang tak akan tergilas oleh perkembangan peradaban. Kesimpulannya, budaya tandingan ternyata tidak selalu berkonotasi negatif dengan berbagai intrik perebutan kursi kekuasaan, tetapi bisa berdampak positif selama kita bisa memberi makna, porsi, ruang dan aktivitas yang tepat.

Artikel ini pernah dipublikasikan di Harian Joglosemar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun