Foto diambil dari akun twitter @downforlifesolo
Mengubah suatu hal tidak harus dengan cara beradu fisik ataupun dengan emosi. Menggunakan suatu senjata tidak harus berupa benda yang konkrit. Mengubah suatu hal dan menggenggam suatu senjata tidak harus kaum yang lebih tua atau kaum yang dianggap kuat dan terkesan senior. Menyuarakan suatu suara tidak harus seperti para pemberontak dan harus menyusuri sisi geografi bermodal berani. Saya bilang sudah saatnya Indonesia berfikir dan bertindak lebih maju.
Pada kesempatan ini saya akan membahas mengenai musik. Ya, seperti judulnya adalah sebagai senjata. Lalu senjata yang bagaimana ? Dapat disimak secara rinci disini.
Selasa, 15 Desember 2015 ditengah kesibukan kuliah saya mencoba menyempatkan diri mengikuti seminar “Musik Sebagai Senjata” bertempat di Aula Fakultas Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo. Seminar yang bersemu diskusi humor namun tetap mengedepankan intelektualitas. Tentu saya menyebut demikian karena memang dalam acara tersebut mendatangkan pembicara yang super funny dan berpengetahuan luas akan suatu musik dan juga edukasi. Beliau antara lain Yogi, Ahmad Ramdon, Jojo, dan I Made Ari Astina. Berikut penjelasan tentang keempat pembicara tadi beserta beberapa poin yang dapat saya tangkap dari pembicara tersebut.
Yogi Eastwood
Yogi adalah seorang pebisnis yang memiliki usaha produk kacamata kayu. Ya, kacamata yang bahannya didapat dari hasil mengolah kembali limbah-limbah kayu yang dijadikan kacamata tersebut. Yogi menggunakan musik sebagai senjata untuk mempropagandakan produknya yang serupa visi dengan beberapa band dan musisi aktivis lingkungan salah satunya yaitu Navicula. Kacamata kayu tersebut serupa visi dengan aktivis lingkungan sekaligus musisi yaitu Navicula karena murni bahannya menggunakan bahan daur ulang dari limbah-limbah kayu yang biasa dijadikan bahan pembakaran di pabrik dan salah satunya dari kayu bekas gitar.
Ahmad Ramdon
Seorang yang boleh dikatakan aktivis musik UNS yang menekankan peran musik bersamaan dengan pengetahuan yang ada dalam benak anak muda Indonesia. Ada beberapa hal yang mampu saya tangkap dari pembicaraan tersebut. Beliau bertanya “Pada era ‘45 mengapa ada takjuk Indonesia Raya ?” Lalu dia menjawab pertanyaanya sendiri “Tentu karena ada anak muda yang memegang biola dan mengaransemen musik untuk menjadi bagian dari energi kemerdekaan di periode itu” Siapa dia ? WR. Soepratman. Saya dapat menangkap bahwa musik yang diciptakan oleh WR. Soepratman adalah salah satu faktor yang menumbuhkan semangat akan kemerdekaan.
Musik menstimulasi perubahan dan tidak ada kata kemerdekaan tanpa ada generasi anak muda pada masa tersebut. Selain Indonesia, kebanyakan negara lain khususnya di asia mendapatkan kemerdekaan dengan cara yang cukup mudah tanpa ada kata perih antara lain dengan diberikanya otonomi, kebebasan, dan dimerdekakan oleh negara penjajah, sementara Indonesia tidak. Maka dari itulah peran anak muda yang harus gigih berdiri di garis depan untuk berjuang melakukan perubahan itu. Suatu periode yang luar biasa bukan ?
Tantangannya bagaimana musik, karya sastra, dan generasi muda sebenarnya ada pada sisi yang paling natural dan sedang tidak memihak siapapun.