Cahaya kuning lembut perlahan memudar. Antara sorak. Belum sampai akal ini menerka. Bergema melompat dari sisi gedung tinggi menuju hijab senja. Lantang. Semakin jelas dengan kuantar telinga menjemput serak teriak yang keluar terpaksa. Perubahan mendadak seketika. Mengusir tarian burung hitam kecil yang biasanya berkisar antara mega dan senja. Satu suara. Mereka mengutuk mencaci lompatan kaleng minuman ringan yang tingginya menyaingi mereka. Tak nyaman lagi. Tak damai lagi.
Aku masih terpaku. Menembus jendela kaca dengan gordyn yang separuh terbuka. Dari kamar-kamar berbalkon satu atau dua hasta. Tiap kepala ingin menjadi saksi. Berpasang mata yang tak sedikit jumlahnya berebut merekam. Kolaborasi amarah. Angin terbang kencang menabrak tinggi gedung lusuh berdebu. Menimpuki keras kesombongan yang menengadah angkuh. Menebar dendam dan kekesalan yang terlalu busuk untuk lebih lama lagi dipendam. Mungkin sebentar lagi, esok, lusa atau entah nanti aku akan tahu apa yang membayangi gumpalan otak mereka. Atau mungkin juga aku akan menjadi semakin tidak perduli dan cepat membawa lari perhatianku kepada garis pelangi yang menjuntai menanti di esok pagi.
Tak ada bedanya. Sebuah negara. Atau wilayah dengan tepian garis yang memanjang melingkar. Dengan berbagai istilah. Diperebutkan lalu dikuasai dan ingin selamanya dipertahankan. Dengan cara atau metode Sang Raja. Sang Raja dengan daulat warga atau dengan pengakuannya sendiri. Keras kedua tangan membungkam jutaan mulut yang tak lebih itnggi dari sepatunya.
Dari sore ke malam. Semakin penuh. Jejak-jejak keras mulai menembus barikade berlapis. Mengecap di lantai marmer yang selama ini dijaga dari serangga kecil yang hinggap tanpa permisi. Menulis amarah tanpa kata pada dinding-dinding putih. Tak kalah licin. Yang selama ini juga dijaga ketat dari butir halus pasir Sahara.
Tutup. Barisan outlet-outlet yang memagari sepanjang jalan sepi. Tanpa riuh suara atau gemerlap lampu yang sangat menjual mimpi bagi para masyarakat yang hidup mengandalkan roti bersubsidi.
Kembali terputar. Tiga belas tahun lalu dimasa umurku menikmati bangku sekolah dasar. Saat sekumpulan kakak-kakak mahasiswa berjas almamater saling merangkul. Rapat niat dan tekad mereka tak mampu diceraikan dengan pukulan membabi buta aparat yang entah kini sudah menyesali dosa mereka atau belum. Ada kalimat yang sangat aku suka dan aku hapal, " Mahasiswa takut pada dosen. Dosen takut pada dekan. Dekan takut pada rektor. Rektor takut pada menteri. Menteri takut pada presiden. Dan presiden takut pada mahasiswa." Seketika mulutku tersenyum. Ada sedikit hal lucu dan membuatku bangga karena kini aku bisa ditakuti oleh presiden. Dan itu sudah terbukti di negeriku.
Rapat kendaraan berbaris. Tanpa ada demo, lalulintas Kairo sudah amburadul. Berantakan. Masalah yang sama pada semua ibukota. Mataku kini fokus mengantar Sang Raja. Kuning emas membalut seantero angkasa ibukota. Merah tak mau kalah. Sekuat tenaga bersikeras mewarnai langit senja. Seperti setan dan iblis, terus merasuk manusia agar kita kalah dengan nafsu dan amarah.
Mataku masih mengintip. Setengah kaca terhalangi embun nafasku. Pertanda musim dingin belum beranjak. Kairo, sedikit mulai tak bersahabat. Aku ingin keadaan cepat stabil. Selamat berjuang Kawan!!! Terus suarakan kebenaran, dan perkeras bila belum didengarkan, lalu silahkan ambil tindakan hingga didengarkan. Karena manusia mempunyai batas, dan capailah batas itu.
Karena kita tahu nasib tidak ditentukan oleh sebuah senja! Tetapi oleh perjuangan dan doa. Itu pun jika Allah berkehendak. Kalau tidak, berarti itu takdir namanya!
**Telpon dan internet kemarin diputus selama 7 hari. Kini baru bisa akses.