Mohon tunggu...
Imam Saparudin
Imam Saparudin Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Observer in the fields of social issues, law, and politic.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pendekatan Hukum Tata Negara tentang Otonomi Desa

10 Juni 2024   20:02 Diperbarui: 10 Juni 2024   20:13 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
doc.canva.com/imamsaparudin.hukumtatanegara

Pemerintahan Indonesia, otonomi desa merupakan salah satu pilar penting dalam penguatan sistem demokrasi dan desentralisasi. Otonomi desa memberikan kewenangan yang lebih besar kepada desa untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya secara mandiri. Dalam perspektif hukum tata negara, pendekatan ini memiliki beberapa implikasi penting yang perlu kita cermati.

1. Landasan Hukum Otonomi Desa

Otonomi desa diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang memberikan dasar hukum bagi desa untuk mengelola urusan pemerintahan dan pembangunan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat desa. Hal ini sejalan dengan Pasal 18B UUD 1945 yang mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa. Profesor Mahfud MD, ahli hukum tata negara, menegaskan bahwa otonomi desa adalah manifestasi dari semangat desentralisasi dan demokratisasi yang diusung oleh reformasi 1998. Menurutnya, "Otonomi desa adalah bentuk nyata dari pelaksanaan kedaulatan rakyat di tingkat paling dasar, yang memungkinkan masyarakat desa untuk lebih berdaya dan mandiri" (Mahfud MD, "Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi", 2018).

2. Pemberdayaan dan Partisipasi Masyarakat

Salah satu aspek penting dari otonomi desa adalah pemberdayaan masyarakat desa. Pendekatan hukum tata negara melihat hal ini sebagai upaya untuk memperkuat partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan di tingkat desa. Partisipasi ini bukan hanya dalam bentuk musyawarah desa tetapi juga dalam penyusunan dan pelaksanaan peraturan desa (Perdes). Dengan demikian, masyarakat memiliki ruang yang lebih luas untuk berperan aktif dalam pembangunan desanya. Sebagaimana diungkapkan oleh Dr. Ryaas Rasyid, pakar desentralisasi dan otonomi daerah, "Partisipasi masyarakat desa dalam pengambilan keputusan adalah kunci suksesnya otonomi desa. Tanpa partisipasi aktif masyarakat, otonomi desa hanya akan menjadi formalitas belaka" (Ryaas Rasyid, "Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Perspektif dan Tantangan", 2005).

3. Pengawasan dan Akuntabilitas

Namun, pemberian otonomi yang luas juga harus diimbangi dengan mekanisme pengawasan dan akuntabilitas yang efektif. Dalam perspektif hukum tata negara, penting untuk memastikan bahwa desa tetap dalam koridor hukum dan tidak menyalahgunakan kewenangan yang diberikan. Pengawasan oleh pemerintah daerah dan pusat, serta keterlibatan masyarakat dalam mengawasi jalannya pemerintahan desa, menjadi kunci untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas. Inspektorat Jenderal Kementerian Dalam Negeri memiliki peran penting dalam mengawasi penggunaan dana desa untuk memastikan tidak terjadi penyimpangan. Menurut Dr. Agus Pramusinto, Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara, "Pengawasan yang efektif dan akuntabilitas yang tinggi adalah fondasi utama untuk memastikan bahwa otonomi desa tidak disalahgunakan. Pemerintah pusat dan daerah harus bekerja sama untuk memberikan pembinaan dan pengawasan yang berkelanjutan" (Agus Pramusinto, "Akuntabilitas dan Pengawasan dalam Pemerintahan Desa", Jurnal Pemerintahan, 2019).

4. Tantangan Implementasi

Meski secara normatif otonomi desa memberikan banyak peluang, implementasinya di lapangan sering kali menghadapi berbagai tantangan. Misalnya, kapasitas sumber daya manusia di desa yang belum memadai, serta minimnya pemahaman tentang regulasi dan tata kelola pemerintahan yang baik. Pendekatan hukum tata negara mengharuskan adanya upaya sistematis untuk meningkatkan kapasitas aparatur desa melalui pelatihan dan bimbingan teknis yang berkelanjutan. Dr. Djohermansyah Djohan, mantan Dirjen Otonomi Daerah, menyoroti bahwa "Tantangan terbesar dalam implementasi otonomi desa adalah peningkatan kapasitas aparatur desa. Tanpa peningkatan kapasitas, sulit bagi desa untuk mengelola kewenangan yang diberikan dengan efektif dan efisien" (Djohermansyah Djohan, "Otonomi Desa: Teori dan Praktik", 2017). Pemerintah pusat melalui Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, telah berupaya memberikan berbagai pelatihan dan pendampingan teknis kepada aparatur desa ("Laporan Tahunan Kementerian Desa", 2021).

5. Otonomi Desa dan Pembangunan Berkelanjutan

Otonomi desa juga memiliki kaitan erat dengan agenda pembangunan berkelanjutan. Dengan otonomi yang lebih besar, desa memiliki kesempatan untuk merencanakan dan melaksanakan program pembangunan yang sesuai dengan kondisi lokal dan berkelanjutan. Pendekatan hukum tata negara harus memastikan bahwa dalam menjalankan otonomi, desa-desa tidak hanya mengejar pembangunan ekonomi tetapi juga menjaga kelestarian lingkungan dan kesejahteraan sosial. Menurut Prof. Emil Salim, pakar lingkungan hidup, "Otonomi desa memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk mengembangkan potensi lokal secara berkelanjutan. Namun, ini juga menuntut tanggung jawab besar dalam menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan" (Emil Salim, "Pembangunan Berkelanjutan dan Otonomi Desa", 2016).

Otonomi desa adalah langkah maju dalam penguatan demokrasi dan desentralisasi di Indonesia. Pendekatan hukum tata negara memberikan kerangka yang jelas untuk mengatur dan mengawasi pelaksanaan otonomi ini. Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada komitmen semua pihak, baik pemerintah pusat, daerah, maupun masyarakat desa sendiri, untuk bersama-sama mewujudkan pemerintahan desa yang efektif, transparan, dan akuntabel. Dengan demikian, desa tidak hanya menjadi objek pembangunan tetapi juga subjek yang aktif dalam menentukan arah dan kebijakan pembangunan di wilayahnya sendiri. Seperti yang dikatakan oleh Dr. Sutoro Eko, akademisi dan aktivis desa, "Otonomi desa adalah kunci untuk menghidupkan kembali desa-desa di Indonesia sebagai pusat pertumbuhan dan kesejahteraan. Ini adalah kesempatan bagi masyarakat desa untuk mengambil alih nasib mereka sendiri dan membangun masa depan yang lebih baik" (Sutoro Eko, "Membangun Desa: Tantangan dan Harapan", 2019).

Implementasi otonomi desa harus dilihat sebagai sebuah proses yang terus berkembang, yang membutuhkan dukungan berkelanjutan dari semua pemangku kepentingan. Hanya dengan kerja sama yang sinergis, visi otonomi desa sebagai motor penggerak pembangunan lokal yang inklusif dan berkelanjutan dapat terwujud.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun