Tak ada jalan pintas menuju kesuksesan. Akan tetapi, anak-anak Lingkungan Sudda, Kabupaten Enrekang sudah harus dipaksa menyeberangi sungai sebagai jalan pintas menggapai cita-citanya.
Di tepian Sungai Saddang, Syahrul dan kawan-kawan tak pernah lelah berdiri menantang sinar sang surya dari ufuk timur. Cahayanya membias dan merekah perlahan. Pertanda fajar baru saja sirna digantikan pagi yang cerah ceria. Jarum jam baru menunjuk pada angka enam. Saban hari, siswa kelas XI SMK PGRI Enrekang itu sudah harus berpamitan pada bapak dan ibu sepagi itu. Ia bersama puluhan siswa sekolah lainnya harus menunggu perahu yang akan menyeberangkan ke sekolah di ibukota kabupaten. Telat sedikit saja, perahu Pak Firdaus bakal meninggalkan mereka.
"Kalau sudah terlambat, kami tidak akan dapat tumpangan Jonson (perahu bermesin, red). Satu-satunya jalan, kami harus pakai londe (sampan, red) biru yang ada di pinggir sungai itu. Dikayuh sendiri sama teman-teman, bergantian," tutur Syahrul di sela-sela menanti jemputan perahunya. Salah satu sampan itu memang disengaja tak dijangkarkan oleh pemiliknya. Itu diperuntukkan bagi keadaan-keadaan darurat bagi masyarakat setempat. Satu londe, kata Syahrul, hanya bisa mengangkut hingga 10 orang. Akan tetapi, hal tersebut juga bergantung arus sungai dan berat para penumpang. Syahrul dan kawan-kawannya biasa diangkut dalam satu kloter sekaligus. "Biasanya kalau pagi, cuma satu kali berangkatnya perahu. Kecuali hari pasar (Senin dan Kamis), bisa banyak bolak-balik," aku lelaki yang bercita-cita sebagai polisi ini.
Syahrul juga tak perlu menebus ongkos untuk menyeberangi sungai. Bagi anak-anak sekolah, para pemilik perahu tak pernah membebankan ongkos pulang-pergi. Asalkan kebetulan ada yang perahu merapat ke tepian sungai, hendak menyeberang ke pusat kabupaten, anak-anak bisa menumpang. Siswa lainnya, M Jufri menambahkan, ia bersama teman-temannya bahkan pernah pulang lepas maghrib lantaran tak ada perahu yang menjemput. Jika sudah begitu, mereka hanya bisa berharap salah satu orang tua berinisiatif mencari kabar anaknya. Dengan begitu, mereka beramai-ramai bisa menumpang pada perahu jemputan itu. "Paling lama kita pernah menunggu sampai tiga jam," imbuhnya, sambil membuka topi SMP-nya. Ia hendak tidur bersandar di pohon. Jika keburu lelah, mereka memang hanya bisa mengandalkan pohon satu-satunya yang menaungi mereka dari panas matahari. Beruntung, semilir angin dari arus sungai membuat saya betah menemani mereka hampir sejam. Pada akhirnya, sampan "darurat" pun tiba. Itu pun atas inisiatif teman sebaya Syahrul dari seberang, yang tak tega melihat mereka menunggu lama-lama.  Sayangnya, cita-cita pendidikan mereka harus dikubur untuk sementara jika air sungai sedang naik. Nyawa mereka terlalu berharga untuk dipertaruhkan lebih dini. Arus sungai tak pernah bersahabat bagi mereka, apalagi yang tak pandai berenang. Hampir setiap tahun, Syahrul harus mendengar kabar tentang kerabat atau tetangganya yang ditenggelamkan Sungai Saddang. "Iya. Kalau lagi banjir, kita ndak pergi sekolah," aku anak bungsu dari dua bersaudara ini.
***Anak-anak Lingkungan Sudda itu memang harus berjibaku dengan arus Sungai Saddang setiap hari. Dusun itu sebenarnya hanya berjarak 500 meter dari Ibu Kota Kabupaten Enrekang. Akan tetapi, kehidupannya nampak terpencil jauh di pedalaman. Ibarat peribahasa yang dipelesetkan, "Dekat di mata, namun jauh di hati".  Sudda seolah tertinggal dari peradaban. Beberapa rumah kosong ditinggal penghuninya. Gemerlapan kota hanya bisa jadi konsumsi dan mimpi dari batas aliran Sungai Saddang. Tak ada jembatan yang menghubungkan Lingkungan Sudda dengan pusat Ibu Kota Kabupaten Enrekang. Padahal, jembatan gantung bisa menjadi alternatif penyambung peradaban bagi masyarakat lingkungan Sudda.Â
Sebenarnya ada jalur darat, namun sangat sulit diakses kendaraan. Saya membuktikannya beberapa waktu lalu. Didorong rasa penasaran menjelajah tempat baru, saya mengajak seorang teman. Kami terpaksa mengakses jalur darat karena ia menolak menumpang di atas perahu. "Ah, saya tidak tahu berenang. Bagaimana kalau kita tenggelam?" ujarnya dengan nada bercanda.  Beruntung, ia hafal setengah jalan menuju pemukiman tersebut. Sisanya, kami mengandalkan senjata utama di wilayah perkampungan: bertanya. Jangan terlalu menggantungkan harapan denganGPS atau Google Map di wilayah perkampungan. Jika air Sungai Saddang sedang naik, bahaya yang mengintai memang jauh berlipat. Di kala musim hujan, jalanan darat juga bakal sangat becek dan mustahil bisa dilalui kendaraan. Kombinasi tanah basah dan berkerikil semakin mengucilkan keberadaan kampung Sudda yang menampung 60 Kepala Keluarga (KK). Tak ada yang rela menyambangi mereka, termasuk Bupati Enrekang sendiri. "Pak Bupati cuma sekali pernah datang ke sini. Itupun waktu 2013 kalau tidak salah. Karena kebetulan beliau ada acara di Desa Cemba," ungkap Kepala Lingkungan, Muhammad Said. Menelusuri jalur darat Sudda, bukanlah hal mudah. Butuh waktu sampai 40 menit untuk mencapai Sudda melalui jalur memutar arah ke Jembatan Penja, Kelurahan Cemba. Jalan mulus beraspal hanya berakhir di Desa Cemba. Untuk melanjutkan perjalanan ke Sudda, motor pun hanya bisa dipacu dengan mengandalkan persneling satu. Tanjakan berundak dan berbatu bakal menyulitkan pijakan roda motor. Lebar jalan pun hanya serentangan tangan. Demi keamanan, sesekali saya harus menurunkan boncengan saat menjumpai tanjakan berbatu. Kebun-kebun tak berpenghuni bakal menjadi pemandangan lazim selama menempuh perjalanan. Jika tak dibalut tekad yang bulat, orang-orang bakal mengira jalanan setapak itu hanya berujung pada kebun lainnya. Pasalnya, sangat sulit menjumpai tanda-tanda penduduk yang bermukim di daerah perbatasan kelurahan itu. Wajar jika penduduk Sudda lebih memilih tinggal di rumahnya. "Ini Sudda sebenarnya belum menikmati kemerdekaan, meskipun bangsa kita sudah lama merdeka. Sejak saya lahir, belum ada jembatan disini. Barangkali kami menjadi satu-satunya dusun yang terasing tanpa jembatan di Enrekang," keluh lelaki yang menjabat Kepala Lingkungan sejak dimekarkan, 2014 silam. Hanya ada sekira 30 rumah yang mengelilingi satu-satunya fasilitas umum, yakni Masjid Nurul Iman. Untuk akses ke pusat kota, penduduk mesti membayar tumpangan perahu seadanya, Rp2.000. Jika pemilik perahu sedang berbaik hati, mereka cukup menghaturkan ucapan terima kasih. Said menceritakan, sudah tak terhitung lagi penduduknya yang tewas karena tenggelam di sungai. Saat air sungai meluap di musim hujan, arus semakin ganas. Tak jarang Sungai Saddang memakan korban anak-anak sekolah. Keterampilan berenang seolah takluk pada arus sungai terbesar di Enrekang itu. "Sebenarnya, kami sudah berkali-kali minta sama pemerintah untuk dibuatkan jembatan. Biarpun hanya jembatan gantung. Tapi, sampai sekarang kami tidak digubris," papar Said sembari menyodorkan contoh gambar jembatan impiannya. Bahkan Said telah mengumpulkan persetujuan masyarakat untuk membebaskan lahan masing-masing. Dokumen-dokumen bermaterai dan bertanda tangan pemilik lahan nyaris usang tersimpan di lemari rumah Said.Â
Ia sempat menunjukkan rancangan jembatan gantung dari bantuan kawannya yang seorang arsitek. Sayang, sejak ia lahir dari rahim ibunya mereka belum pernah dilirik oleh para pejabat berpakaian dinas itu. Padahal di dusun sempit itu, ada bekas posko pemenangan Bupati Muslimin Bando - Amiruddin tepat di gerbang masuk dusun. Adapun tokoh masyarakat Sudda, Abdullah juga sangat berharap ada jembatan yang memudahkan akses masyarakat ke pusat kota. Dengan begitu, mereka tak perlu lagi bertaruh nyawa menyeberangi sungai yang kerap memakan korban itu. Tak terkecuali jika ada salah satu warganya yang butuh pengobatan ke UGD rumah sakit, mereka justru seolah-olah menyodorkan nyawa di antara derasnya arus sungai. "Kita cuma mau jembatan itu. Apalagi ini sebenarnya demi anak-anak kami yang tiap hari lewat sungai untuk sekolah," pungkas imam Masjid Nurul Iman Sudda ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H