Mohon tunggu...
Imam Rahmanto
Imam Rahmanto Mohon Tunggu... Coffee addict

Cappuccino-addict | Es Tontong-addict | Writing-addict | Freelance

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Layang-layang

27 April 2011   00:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:21 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13038652121648626962

[caption id="attachment_103494" align="aligncenter" width="333" caption="Sumber Gambar: Google Search"][/caption] “Tolong, tutup kembali pintunya, Dan!” teriakku dari dalam kamar. “Siip!!” seru Dani dari luar kamarku dan menutup pintu kamar sambil berlalu pergi. Buku yang sempat kutinggalkan tergeletak di atas ranjang kembali kuaca. Di dalam kamar, aku sendiri. Mencoba mendalami buku yang sedang kubaca. Di luar kamar, suara teman-teman yang lain begitu ramai. Tampak dari jendela kamar, mereka sedang menonton suatu acara televisi sambil bersenda gurau antara sesama mereka, anak-anak kampus. Begitulah kebiasaan penghuni di asrama ini. Jika tidak ada hal yang dirasa cukup perlu untuk dikerjakan, maka mereka akan memutuskan untuk berkumpul bersama di ruang tengah asrama ini. Kuputuskan untuk menyetel radio di dalam kamarku. Aku men-channel pada salah satu siaran FM. Di malam hari seperti ini, masih banyak stasiun radio yang sedang mengudara. “..........kirimkan atensi anda.....kosong.....satu...” Sayup-sayup dari balik buku yang sedang kubaca terdengar suara seorang broadcaster sedang mengudara. Suara broadcaster yang satu ini sudah familiar dalam siaran radio yang sedang kudengar ini. Tak berapa lama kemudian, suara broadcaster tadi berganti menjadi sebuah lantunan lagu nostalgia. Lagu yang dibawakan oleh Ebiet G. Ade dengan judul Ayah ini tiba-tiba mengingatkanku pada keadaan keluarga di desaku. Keluarga yang telah lama kutinggalkan. Keluarga yang telah lama hamper kulupakan. “.....bahumu yang dulu kekar, legam terbakar matahari. Kini kurus dan terbungkus.....” Sudah empat tahun semenjak kepergianku dari rumah. Kepergian yang ingin membuktikan sesuatu pada ayahku. Hingga kini, aku masih belum pernah pulang ke desa.

* * * * * * * * *

“Ayah, itu kurang tinggi. Lebih tinggi lagi, Yah!’ teriakku dari kejauhan sambil mengikuti lari ayahku. “Ini sudah tinggi!” balas ayahku sambil berlari ke arahku. Sebuah layang-layang hijau terbang tinggi mengangkasa. Melawan segala angin yang menerpanya. Aku dan ayahku sedang berlari-lari kecil di sekeliling lapangan. Kami berdua mencoba menerbangkan layang-layang yang baru saja dibeli oleh ayah untukku. “Lihat, kan Firman. Begini caranya menerbangkan layangan.” jelas ayah padaku. “Iya, Yah.” “Kalau begitu coba kamu yang pegang.” suruh ayahku ketika layang-layang telah mengudara dengan stabil. Aku berusaha mengimbangi layang-layang yang telah diterbangkan oleh ayah. Aku memegangi gulungan benang dengan bantuan ayahku. Hari ini adalah hari pertamaku menerbangkan layang-layang. Setiap sore, aku biasanya bermain bersama teman-temanku. Tetapi aku hanya menjadi penonton dan penyorak saja. Karena saat itu aku belum punya layang-layang sendiri. Sore ini, ayah memutuskan untuk menemaniku bermain layang-layang. Meskipun sebagai guru di sekolah menengah, ayah masih menyempatkan sedikit waktu luangnya untuk menemaniku bermain layang-layang. “Firman, kalau dewasa nanti jadilah seperti layang-layang.” ujar ayahku pada suatu waktu. “Kok, bisa, yah?” tanyaku sambil memandangi wajahnya. “Layang-layang bisa terbang karena ia melawan arah angin, bukan malah mengikuti arah angin. Oleh karena itu, jadilah sepertinya. Jika kamu menghadapi tantangan dalam hidup, janganlah kamu lantas menghindarinya. Hadapilah. Kalau bisa sambil tersenyum. Dengan begitu, kamu juga akan bisa terbang tinggi seperti layang-layang. Tapi ingat, semakin tinggi kamu terbang, maka semakin kuat juga tantangan yang akan menghadangmu.” jelas ayahku sambil tetap memandangi layang-layang yang sedang terbang di udara. “O.......” jawabku singkat. Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala. Kata-kata ayahku tidak begitu kupahami, tapi aku yakin suatu saat nanti aku bisa mengerti.

* * * * * * * * *

“Sudahlah, Firman. Ayah tidak punya waktu buatmu. Kamu bermain sendiri saja.” Ayahku telah banyak berubah semenjak ia diangkat sebagai kepala sekolah, tempat dia mengajar. Entah apa yang membuatnya berubah. Hal ini juga dirasakan oleh saudara-saudaraku. Hingga aku beranjak remaja, ayah tetap sama. Bukan lagi seperti ayah yang menemaniku bermain layang-layang. Buku yang ada di tanganku sepertinya tidak lagi menjadi bahan bacaanku. Saat ini aku hanya bisa termenung sendiri. Lagu yang masih bersenandung di radio kesayanganku telah membuatku teringat akan semua ingatan tentang ayahku. Ayah telah berubah menjadi orang yang begitu sombong. Ia tidak pernah lagi menghargai anak-anaknya. Segala sesuatu yang berlaku di rumah harus menurut kehendaknya. Selain itu, aku juga sering mendapat makian dari ayahku. Orang-orang dalam keluargaku tidak ada yang berani membantah perkataan ayahku jika ia sedang emosi. Sedikit saja kami berkomentar, maka emosi ayahku akan semakin meningkat. Oleh karena itu, jika ayahku sedang berbicara, tak ada satupun yang berani mengomentarinya, kecuali ibuku. “Apa yang kamu mau andalkan jika dewasa nanti, Firman? Meski orang-orang di sekolah menganggap kamu sebagai anak yang pandai, tapi dalam hal pengalaman kamu hanya orang yang bodoh.” “Bekerja saja kamu tidak becus. Coba kamu lihat anak Pak Andi, ia begitu rajin ke sawah untuk membantu ayahnya. Sedangkan kamu? Kakakmu saja yang selalu ke sawah untuk menggarap sawah milik keluarga kita.” lanjutnya. Kata-kata seperti begitu membakar telingaku. Ayah tidak pernah menghargai prestasi yang selama ini kuraih. Bahkan ia sering membanding-bandingkan aku dengan orang lain. Pemikirannya sungguh picik. “Tugas sekolah? Kamu saja yang tidak mau bekerja.......” Soal pekerjaanlah yang paling sering dijadikan bahan oleh ayahku untuk mencibirku. Semua prestasi yang kudapatkan di sekolah hanya dianggap hal biasa oleh ayah. Di saat aku mencoba membuatnya senang pun, ia tidak pernah merasa senang atau setidaknya mengucapkan terima kasih. “Lihat, kan. Pekerjaanmu tidak pernah ada yang beres. Bekerja saja kamu tidak becus. Lihat saja dari caramu pegang cangkul. Begitu saja salah. Mau kerja apa kamu nanti? ujarnya padaku saat membantunya di sawah. Aku membantunya bekerja di sawah. Waktu itu adalah musim tanam padi. Mendengarnya, aku hanya diam saja. Sebenarnya, aku sudah muak dengan segala omelan ayahku. Segala sesuatu yang kulakukan harus dengan caranya. Tidak peduli sesuai atau tidak. Ia tidfak pernah membiarkanku untuk berkembang sendiri. ”Mungkin dalam hal kepintaran, kamu lebih pintar dari ayah. Tapi kalau pengalaman kamu tidak ada, sia-sia. Pengalaman itu pun tidak pernah diajarkan di sekolah. Ayah ini sudah banyak pengalaman. Jadi, kamu tidak usah banyak mengomentari ayah.” Sejak saat itu, aku jadi malas untuk bekerja membantu ayahku. Seandainya pun aku membantunya, itu karena terpaksa. Semua hasil pekerjaanku selalu diangap sia-sia meskipun ibu selalu mendukungku. “Ayahmu sebenarnya mau yang terbaik buat kamu, nak.” nasehat ibuku. “Percuma, Bu. Kepercayaanku pada ayah sudah mulai hilang.” balasku. Puncak kekecewaanku terjadi ketika aku lulus SMA. Aku merasa tersisih diperlakukan seperti itu oleh ayahku. Hingga aku berani melawan semua kata-kata ayahku. “Ayah selalu beranggapan seperti itu karena ayah tidak merasakan. Ayah tidak pernah mau mendengarkan perkataanku. Pemikiran ayah itulah yang terlalu picik!!” bantahku. “Apa?? Kamu berani melawan ayahmu, ya!!” Ayah hamper saja melayangkan tangannya ke arahku. Beruntung, ibuku menghalanginya. Saat itulah aku mulai sadar untuk memulai kehidupanku sendiri. “Ayah terlalu picik.” lirihku. Hari berikutnya, aku telah menghilang dari rumahku. Entah bagaimana reaksi keluargaku atas kepergianku. Aku pun tidak pernah berusaha untuk mencari kabar mereka, terutama ayahku dan aku pun tidak pernah mau tahu.

* * * * * * * * *

Empat tahun sudah kutinggalkan keluargaku. Sudah waktunya aku harus kembali memperlihatkan diriku dengan semua kehidupanku. Aku pernah berjanji pada ayahku untuk kembali setelah empat tahun. Sudah saatnya lah aku harus kembali...

* * * * * * * * *

Aku pulang ke desaku. Aku merasakan banyak suasana baru dan berbeda dari empat tahun yang lalu. Ternyata, telah banyak yang berubah selama empat tahun ini. Aku tersenyum. Keadaan rumahku tetap masih seperti dulu. Hanya catnya saja yang telah menjadi baru. Aku melangkah masuk ke dalam rumah dengan menggendong ransel di punggungku. “Firman?... Apa kamu itu, nak?” Ibuku yang baru saja keluar dari dalam dapur terkejut melihatku. Ia terlihat tidak percaya. Ia seakan tengah bermimpi melihat kedatanganku. Aku hanya tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca. Aku meletakkan tasku di atas meja dan segera saja ibuku menyembutku dengan pelukannya. “Nak, sudah lama ibu merindukanmu. Kamu kemana saja?” Ibuku begitu terlarut dalam kesedihannya. Dapat kurasakan air mata yang menetes dari matanya yang telah keriput. Tanpa kusadari air mataku pun menetes. Keluarga yang telah lama kutinggalkan dengan orang-orang yang menyayangiku. Sejenak kemudian, ibuku tersadar. Ia mengusap air matanya dan menyuruh seseorang dari dalam rumah. “Intan, tolong panggil kakakmu Sudan kesini. Bilang kalau Firman sudah pulang!” seru ibuku memanggil Intan, adikku. Intan segera berlari keluar rumah. Ia juga terlihat begitu terharu. beberapa saat kemudian, ibu banyak menanyaiku tentang banyak hal. Semua kisahku juga turut menjadi perbincangan dengan ibuku. Segala suka duka yang juga selama ini aku rasakan. Mendengar segala hal tentangku, ibu tampaknya terlihat bahagia. Ia juga begitu bangga denganku. Kini, aku berkumpul lagi dengan keluargaku. Meski tidak semuanya, karena kakakku yang kedua sedang melanjutkan S2-nya di sebuah perguruan tinggi di kota. Kakakku, Sudan, telah sampai di rumah. Ia segera memelukku dengan begitu eratnya. Tampak wajahnya yang telah banyak berubah. Wajahnya yang dulu kukenal begitu bersih, kini telah riuh dipanasi oleh matahari. Aku merasa sedih melihat kakakku. Tapi ia malah senang dengan pekerjaannya di sawah sekarang. “Hitung-hitung untuk menggantikan ayah.” katanya. Begitu mendengar kata “ayah”, aku langsung teringat tujuanku pulang ke desa ini. “Oh, iya. Ayah sekarang ada dimana? Kok dari tadi tidak ada.” tanyaku penasaran. Padahal aku yakin jam segini ayah pasti sudah sedari tadi pulang dari sekolahnya. Ibu dan kedua kakakku saling berpandangan. Diikuti oleh adik perempuanku. Tiba-tiba raut wajah keluargaku berubah. Ibu, Intan, dan kakakku semuanya terlihat murung. “Ada apa?” tanyaku lagi. Masih hening. “Firman, dua tahun yang lalu, dua tahun setelah kepergianmu, ayahmu mengidap penyakit diabetes, nak.” Ibuku mencoba menegarkan dirinya. “Penyakit ayahmu semakin hari semakin parah. Sudah beberapa kali kami membawanya ke dokter, tapi segala usaha kami tidak pernah membuahkan hasil. Penyakit ayahmu sudah parah.” lanjut ibuku sambil meneteskan air mata. Sejenak, semua orang yang ada di dalam rumah terdiam. Aku merasakan suasana yang tidak seperti biasanya. Perasaanku mulai tidak enak. “Penyakit ayahmu tidak kunjung sembuh dan akhirnya ia meninggal.” “Apa!” lirihku. Kepalaku terasa berat mendengar yang dikatakan ibu. aku tidak bisa lagi berkata apa-apa. Bibirku serasa bergetar dan tanpa terasa air yang bening keluar dari mataku. Aku merasa waktu berjalan begitu cepatnya. Begitu cepatnya pula ia telah mengambil nyawa ayahku. Ayahku yang begitu picik menurutku, tapi ayah yang mengajarkanku arti hidup. Aku merasakan suasana hening di rumahku. Tak ada satu pun yang memecah keheningan tersebut. Semua larut dalam keheningan.

* * * * * * * * *

“Kamu sudah mengunjungi makam ayahmu, nak?” tanya ibuku yang menemaniku di depan teras rumah. “Sudah, Bu.” jawabku dengan datar. “Nak, ada satu hal yang perlu kamu ketahui tentang ayahmu.” Aku penasaran mendengar perkataan ibuku. “Firman, sejak kamu pergi dari rumah, ayahmu sangat marah.” lanjutnya. “Firman tahu itu, Bu.” “Tapi yang ingin ibu katakana pada kamu bukan itu,” ujarnya sambil terus melanjutkan, “suatu hari, surat yang kamu kirimkan kepada ayahmu empat tahun yang lalu sampai ke rumah ini.” Aku kembali teringat pada surat yang sempat kukirimkan untuk ayahku ketika aku pergi dari rumah. Beberapa minggu setelah aku pergi dari rumah, aku memutuskan untuk mengirimi keluargaku surat agar tidak mengkhawatirkanku. Surat yang isinya menyatakan segala keluhanku. “Kamu pasti masih ingat, kan?” tanya ibuku. Aku hanya mengangguk. “Surat yang kamu kirimkan telah mengubah pandangan ayahmu. Ia sepertinya mulai bisa kembali seperti ayahmu yang dulu. Ia mulai sadar akan sikapnya selama ini. Oleh karena itu, ia menyuruh kakak-kakakmu untuk mencari kabar tentang keberadaanmu. Ayahmu ingin kamu melihatnya seperti dulu lagi karena ia telah menyadari semuanya. Entah mengapa surat itu bisa mengubah ayahmu.” Ibuku meneteskan air matanya. Ia selalu sedih jika mendengar tentang ayahku. Aku sebenarnya tidak tega melihatnya seperti itu. “Karena surat itu, nak. Ayahmu sadar akan semua sikapnya selama ini. Ia sudah memaafkanmu sejak dulu. Ibu betul-betul tidak mengerti mengapa suratmu bisa membuat ayahmu berubah.” Aku terharu mendengar penuturan ibuku. Tak pernah kuduga sebelumnya, ayah akan berubah secepat itu. Air mataku berkaca-kaca mengenang sebuah surat singkat yang kukirimkan waktu itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun