Meskipun jarang terdengar, namun kasus ketidakadilan yang dialami perwira menengah militer yang dipaksa menghadapi kasus kriminal di Pengadilan Militer Tinggi, menjadi kasus yang memprihatinkan. Apalagi, jika kasus itu merupakan buntut kasus perdata sengketa lahan, yang belum tuntas di pengadilan sipil.
Seperti kasus yang menimpa Kolonel Inf. Eka Yogaswara yang sekarang sedang diadili di Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta. Mirisnya, ia didakwa oleh Oditur Militer Tinggi karena dianggap memasuki pekarangan orang tanpa izin. Eka dilaporkan oleh Tessa Elya Andriana Wahyudi, selaku Legal Manager BUMN PT PFN, dengan tuduhan telah menyerobot lahan dan memasuki lahan tanpa izin dengan dasar kepemilikan Sertifikat Hak Pakai.
Dalam eksepsinya, R Agus Sasongko, penasehat hukum sipil Kolonel Inf. Eka Yogaswara menyatakan, dakwaan oditur militer tinggi tidak dapat diterima. Tiga pekan sebelumnya, oditur militer tinggi telah membacakan dakwaan terhadap Kolonel Inf. Eka Yogaswara yang dituduh memasuki lahan pekarangan orang lain.
Pada Kamis (13/2/2025) lalu, digelar sidang ketiga bagi Kolonel Inf. Eka Yogaswara SH MH dalam kasus yang dilaporkan oleh Tessa. Eka dihadapkan ke Pengadilan Tinggi Militer II Jakarta, karena dituduh memasuki pekarangan tanpa izin dan penyerobotan tanah. Bagi Eka dan keluarga besarnya, tentu tuduhan ini terasa aneh dan janggal. Mengingat, lahan yang dimasuki itu milik engkong alias kakeknya sendiri, yang biasa dipanggil Bek Musa.
R Agus Yudi Sasongko, penasehat hukum sipil Kolonel Inf. Eka Yogaswara dengan tegas mengatakan, dakwaan Oditur Militer Tinggi terlalu prematur. Ia berpendapat, dakwaan Dakwaan Oditur Militer Tinggi terhadap Kolonel Inf. Eka Yogaswara terlalu sumir dan prematur, yang diartikan sebagai dakwaan yang disusun terlalu singkat dan terburu buru. Dakwaa itu, belum saatnya untuk diajukan di depan persidangan. Akibatnya, Kolonel Inf. Eka Yogaswara menjadi korban dari proses penegakan hukum yang terkesan dipaksakan dan terburu-buru untuk suatu tujuan tertentu.
Sasongko menerangkan, alasan prematur karena ada Pra-Yudisial yang berarti ada sengketa yang harus diputuskan terlebih dahulu sebelum mengadili pokok perkara a quo, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 1956, yang menerangkan "Apabila dalam pemeriksaan perkara pidana harus diputuskan hal adanya suatu hal perdata atas suatu barang atau tentang suatu hubungan hukum antara dua pihak tertentu, maka pemeriksaan perkara pidana dapat dipertangguhkan untuk menunggu suatu putusan pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya hak perdata itu".
Dengan kata lain surat Dakwaan dalam perkara a quo belum dapat diterima untuk diperiksa perkaranya di Pengadilan karena masih terdapat permasalahan hukum lain yang perlu diselesaikan terlebih dahulu baik melalui penetapan maupun putusan pengadilan Perdata yang berkekuatan hukum tetap sebelum memutus perkara a quo karena adanya hubungan antara kedua hal tersebut.
Adapun alasan surat Dakwan dalam perkara a quo terlalu prematur adalah sebagai berikut :
1. Perum PFN Terlebih Dahulu Harus Melakukan Tindakan Hukum Eksekusi Pengosongan Bahwa rangkaian pokok perkara Perdata yang dihadapi oleh Perum PFN secara yuridis belumlah tuntas secara keseluruhan karena untuk menuntut hak atas tanah berdasarkan putusan TUN maupun putusan Perdata yang telah berkekuatan hukum tetap, Perum PFN terlebih dahulu harus melakukan tindakan hukum lanjutan dengan mengajukan permohonan Aanmaning (Teguran), Sita Eksekusi dan permohonan eksekusi riil (pengosongan) atas tanah kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat, dan bukannya malah melaporkan Terdakwa ke Puspomad atas dugaan tindak pidana penyerobotan tanah dan memasuki pekarangan tanpa ijin. Laporan ini, justru merupakan salah satu bentuk kriminalisasi melalui penegakan hukum pidana.
Pengertian eksekusi adalah tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara yang merupakan tindakan yang berkesinambungan dari keseluruham rangkaian proses Hukum Acara Perdata yang wajib ditempuh oleh pihak yang merasa menang perkara. Jika pihak yang merasa menang hanya bersikap diam dan tidak melakukan tindakan hukum berupa eksekusi pengosongan, maka dinilai sudah tidak mempedulikan lagi persoalan hukum terkait hak atas tanahnya namun ironisnya justru mengambil langkah penyelesaian melalui jalur pidana, maka hal ini sama saja melanggar hak asasi manusia dan hak konstitusional terdakwa. Bahwa dengan demikian guna menjamin adanya kepastian hukum mengenai siapa yang berhak atas tanah yang terletak di Jl. Kapten P. Tendean No. 41, Jakarta Selatan, maka secara yuridis Perum PFN terlebih dahulu harus menempuh upaya hukum dengan mengajukan eksekusi pengosongan.
Tatanan hukum di Indonesia akan rusak apabila pemenang gugatan perdata enggan mengajukan eksekusi, namun justru memohon bantuan kepada aparat negara agar yang kalah diproses secara pidana.