Mohon tunggu...
Imam Prihadiyoko
Imam Prihadiyoko Mohon Tunggu... Jurnalis - penulis

hobi travel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Klampok: Enam Sosok di Gazebo (5)

21 November 2024   06:00 Diperbarui: 10 Desember 2024   20:42 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hembusan udara malam di tepi kolam renang di lantai enam sebuah hotel yang terletak di pusat kota Malang itu, terasa amat menusuk. Sisa gerimis masih memercik tipis terbawa hempasan angin malam yang cukup keras menerpa. Tempias air, seketika membasahi seluruh wajah. Padahal, riak air di kolam renang itu, ketika dilihat dari jendela kamar hotel di lantai delapan, kolam itu seperti memanggil-manggil untuk diguncang dan diaduk.

Joy memang tidak jadi menginap di rumah masa kecilnya di Malang. Apalagi, saat ia tiba di sana menjelang petang, dan gas untuk pemanas airnya sudah lama tak di cek dan habis. Mbak Sumi, yang merawat rumah tersebut, lupa mengecek persediaan gas itu. Memang bukan salahnya, karena Joy pun tak memberitahukan tentang kepulangannya di Kota Malang. Joy pun kemudian memilih tinggal di hotel yang ada di pusat kota Malang. Lokasinya, sebetulnya tidak terlalu jauh dari rumahnya di Malang. Hotel itu, sebenarnya sedang memanfaatkan suasana sepi pengunjung karena Pandemi Covid-19, untuk merenovasi ruang-ruang kamarnya.

Joy memilih hotel itu, karena menyediakan fasilitas kolam renang yang nyaman. Dan itu memang menjadi niatnya, ketika keluar kamar malam itu. Joy ingin mendinginkan tubuhnya dengan air kolam renang yang terlihat menyejukkan. Ada bayangan, air kolam itu akan sedikit menghilangkan kepenatan setelah perjalanan lebih dari 10 jam perjalanan darat dengan mengendarai mobil seorang diri dari Jakarta. 

Mungkin dengan sedikit gerak badan di air, kesegaran tubuhnya akan segera pulih dari ketegangan. Tadinya ingin memanggil tukang pijat, namun karena Covid juga, diurungkan niatnya itu. Mungkin dengan sedikit berenang dan menyelam, akan bisa merasakan pijatan lembut aliran air yang melewati kulit di badan. Mungkin pula, karena kota Malang ini habis diguyur hujan sejak pagi, menurut resepsionis di lobi hotel tadi, sehingga udara terasa dingin di luar sini, malah membuatnya ingin berenang di malam hari.

Ataukah memang, udara malam di awal bulan Desember, memang biasa terasa dingin. Namun, bukan ini yang menghentikan langkah Joy untuk terjun menyibak riak kecil kolam renang. Tetapi, di kejauhan terlihat ada enam orang, yang sedang duduk melingkar di bawah gazebo kayu setinggi dua meter. Gazebo itu, memang amat dekat dengan kolam renang. Meski melihat dengan jelas, namun Joy tak betul bisa segera mengenali wajah mereka. Apakah mereka pria atau wanita, karena dari suara lirih yang menerkam telinga dan langsung sedikit menelusup ke dalam hati, suaranya tak bisa segera dikenalinya. Meski dalam hati, sepertinya ia cukup mengenali pemilik suara itu.

Ada desir yang tak bisa dijelaskan, namun Joy hanya menduga itu hanyalah perasaan. Itu mungkin hanya desir suara angin yang agak cukup kencang mendera kedua daun telinga. Desiran suaranya itu, seperti membangkitkan aliran udara yang bergejolak menerpa wajah dan sedikit menggores pupil mata, yang kemudian memaksa kelopak mata menutup seketika.

Dari kejauhan, mereka seperti tampak membicarakan topik yang cukup serius. Namun, keseriusan itu sebetulnya tak tampak di wajah mereka, karena cahaya temaram lampu yang menerangi gazebo itu, tidak cukup kuat untuk bisa menerangi dan menampilkan guratan wajah mereka. Keseriusan itu juga tak bisa ditebak dari suara pembicaraan mereka, karena memang hanya terdengar seperti dengung kumbang kuning yang lewat sambil lalu menyerbu putik kembang kenanga warna kuning di kebun depan resto di Jakarta.

Ah lagi-lagi Joy menghela nafas panjang, ketika mengingat resto yang terpaksa ditinggalkannya begitu saja di Jakarta.

Langkah Joy terhenti untuk mendekat kesana, dan tampaknya ia memutuskan memilih untuk duduk di dekat bar yang ada di tepi kolam itu di sisi yang berseberangan dengan Gazebo itu. Tak enak rasanya terjun ke kolam. Joy takut bunyi sibakan air saat berenang, bisa mengganggu keseriusan mereka. Posisi mereka, segaris dalam pandangan lurus dan sejalan dengan taman kecil. Taman dengan pokok kecil lurus dan tampak kuat itu, bergoyang dan saling bergesekan. Gesekan batang pepohon yang ada disana, seperti menyanyikan lagu yang terasa menyayat hati.

Seorang pelayan mendekat, dan setelah memperhatikan serta membolak-balik lembaran menu, Joy pun hanya memesan wedang uwuh. Minuman khas berwarna merah kayu secang, dan ada rasa jahe yang hangat, serta aroma kapulaga yang khas. Mengingatnya saja, sudah cukup membuat ingatan Joy pada cafe kecil di seberang stasiun tugu Yogyakarta, tempat ia pernah menghabiskan malam dengan Hanna, Sri Isyana Kusumawardhani ketika secara tidak sengaja bertemu di Stasiun Tugu, dua bulan sebelum pernikahannya.

Pertemuan dengan teman masa kecil itu, terjadi sebelum Hanna menikah dengan seorang pria yang dikenalkan oleh keluarganya. Joy pun tak ambil pusing dengan siapa Hanna menikah, hanya saja di hati kecilnya masih terselip rasa sayang yang cukup mendalam.

Tapi malam ini, wedang uwuh rasanya pas, bisa menimbulkan kehangatan di badan. Minuman itu, rasanya cukup pas untuk memberikan kesegaran kembali, badan yang malam ini agak letih. Selain itu, Joy pun memesan seporsi pisang goreng, sebagai teman di meja menemani sajian wedang uwuh hangat. Pisang itu pun segera tandas ludes masuk dalam perutnya.

Udara dingin membuatnya ingin menikmati steak dengan kentang bakar yang menjadi kegemarannya. Ia pun tak ragu untuk memesannya.

Memang, udara malam ini terasa amat dingin, kata sang pelayang seakan dapat membaca pikiran Joy. Atau ia sekedar menebak apa yang dirasakan dari minuman yang dipesannya dua kali itu. Ah sudahlah, itu tidak terlalu penting untuk menelusup lebih jauh dalam pikiran yang saat itu sedang tergoda untuk berenang.

Sementara, pandangan mata tetap terpaku pada enam orang sosok yang duduk melingkar di bawah gazebo temaram, yang ada di salah satu pojokan tepian kolam renang. Mereka seolah sedang melakukan ritual yang tak dimengerti, namun tak juga ingin cari tahu jawabannya. Satu hal yang pasti, salah satu diantara mereka mengenakan baju dan topi yang mirip dengan pasukan Janissari, pasukan elit kekaisaran Ottoman. Makin dikenal ketika pasukan ini juga menjadi andalan al Fatih ketika menaklukkan Konstantinopel.

Joy pun sangat hapal dengan kisah sejarah ini. Lagi-lagi, buku sejarah tebal tentang kisah penaklukan Konstantinopel oleh al-Fatih inilah yang menjadi sebab renggangnya pertemanannya dengan Hanna. Sampai saat itupun, Joy tak tahu apa yang menjadi alasan Hanna menangis saat ia membawa kabur buku tersebut, ketika Hanna melemparkan buku itu ke arahnya ketika kesal dengan julukan yang diolok-olokkan pada Hanna.

Warna merah menyalanya, dari baju pasukan Janissari itu, cukup jelas terlihat meski cahaya temaram mengaburkan pandangan.

Seketika, alunan musik khas Janissari pun terdengar. Kata-kata yang dirangkai menjadi kalimat pembangkit semangat itupun segera bermain di kepala.

Selain mereka, sebetulnya ada dua orang sepasang kekasih atau suami istri, Joy tak tahu pasti, yang jelas mereka tampak seperti pasangan yang sedang makan malam. Mereka tampak sedang menikmati makan malamnya, tanpa terdengar banyak perkacapan.

Tak lama setelah makan, mereka duduk menikmati malam minggu dibawah udara dingin dan tampias air hujan yang terbawa angin. Mungkin, tak sampai satu jam setelah mereka selesai menyantap makanan yang dipesan, langsung pergi dari sana. Mereka duduk, tanpa banyak mengeluarkan obrolan yang bisa terdengar. Meski posisi Joy, dengan mereka tak lebih dari dua meter.

Sebelum akhirnya, Joy memutuskan untuk beranjak dari sana, mereka berdua memperlihatkan ekspresi wajah dan isyarat badan yang menunjukkan kalau sang perempuan tak tahan dengan udara dingin yang menyergap. Mereka pun beranjak tanpa meninggalkan suara, kecuali suara kaki kursi yang digeser di  lantai keramik putih.

Tak ada orang lain lagi selain enam orang itu, dan Joy yang tetap menikmati wedang uwuh hangat, sambil menikmati keheningan malam. Entah karena air hangat atau jahe, atau keduanya, membuat dingin hembusan malam yang semakin memudar. Mungkin tubuh Joy mulai menyesuaikan dengan keadaan atau karena kehangatan wedang uwuh sudah mulai merasuki aliran darah di tubuhnya. Ditambah, seporsi steak daging wagyu sudah masuk dalam perutnya. Joy tak tahu pasti. Satu hal yang jelas, Joy tak merasakan lagi dinginnya udara malam. Ada perasaan nyaman di badan. Kursi sederhana yang diduduki pun, terasa cukup memberikan kenyamanan untuk duduk berlama-lama di sini.

Sementara itu, dua orang waiters di belakang meja bar, masih tampak setia menanti sambil menikmati sajian televisi sport yang tadi kupesan pada mereka untuk diputar. Entah mereka menikmati sajian itu, atau sekedar menghabiskan kebosanan menanti waktu akhir mini bar itu ditutup.

Joy pun rasanya enggan mengganggu keasyikan mereka menyaksikan tontonan sport di televisi. Namun, lagi-lagi pandangannya tertuju pada gazebo dimana enam sosok orang masih terlihat duduk tenang. Tak tampak mereka banyak bergerak, tak terdengar juga percakapan yang dapat ditangkap dengan telinga, juga tak ada canda dan senda gurau yang keluar dari mereka. Hanya ada keheningan yang menyergap. Namun, Joy merasa seperti diminta untuk memperhatikan mereka, dan mendengarkan percakapan serius itu. Meski Joy pun tak dapat menangkap sepatah katapun. Hanya saja, hatinya tergetar dan ada dorongan hebat untuk diam sejenak.

Joy pun tiba-tiba tersadar, di depan mereka tak tersaji makanan atau minuman yang dipesan. Mungkinkah mereka tidak memesan, atau waiter tidak mendatangi mereka untuk menawarkan sesuatu. Ah rasanya tidak mungkin waiter mendiamkan mereka. Paling tidak, waiter akan mendatangi dan menawarkan sesuatu. Joy rasanya juga tidak melihat seorang pun pelayan yang mendatangi mereka, atau sudah mendatangi mereka tapi ia tak melihatnya.

Ah sudahlah, apa pula urusan dirinya dengan mereka. Hanya saja, memang tidak ada manusia lain selain dirinya, dua orang waiters dan mereka yang ada di sana malam itu. Tak terasa, pukul 12 malam, sudah lewat 25 menit di ponselnya. Joy pun menoleh pada waiters, ternyata tanpa disadari sudah membereskan bar itu, dan terlihat kosong. Mereka pun tidak lagi berdiri di belakang meja bar, tetapi duduk di kursi di depan meja bar, hanya berselang satu meja di disampingnya.

Mereka tampak duduk bercakap-cakap pelan, sambil memperhatikan dirinya. Joy pun yang tersadar segera bertanya.

"Sudah tutup ya mas," tanyanya.

Dan mereka pun langsung menjawab hampir bersamaan, "sudah pak, pas jam 12 tadi. Kami nggak enak mengganggu bapak".

"Lho tapi kan saya tidak sendirian di sini yang ditunggu, masih ada mereka di sana," kata Joy sambil melemparkan padangan ke arah enam orang yang duduk di gazebo di sudut sana.

Wajah mereka berdua tampak sekali seperti orang kebingungan, sambil melemparkan pandangan ke arah tatapan matanya. Mereka pun Kembali memandang Joy dengan wajah yang semakin bingung, dan bibir yang tampak bergetar seperti ingin bertanya.

"Ada apa?" tanya Joy yang tak kalah bingungnya melihat tingkah mereka berdua.

Salah satu diantara mereka pun berkata, sejak tadi sore tamu yang mereka layani hanya Joy dan sepasang kekasih tadi.

"Tidak ada orang lain, pak," kata mereka hampir berbarengan.

"Lho, itu yang duduk-duduk disana itu siapa," tanya Joy lagi sambil melemparkan pandangan kearah gazebo di pojokan itu, namun tiba-tiba pandangannya hanya melihat kekosongan. Tak tampak keenam sosok yang duduk melingkar berdiam tanpa gerak di sana. Tak ada lagi suara percakapan yang terdengar seperti gumaman terbawa angin.

Kami bertiga pun saling melihat, dan tanpa banyak berkata apa-apa lagi, Joy pun segera beranjak masuk menuju pintu kaca hotel. Di dalam, salah satu waiters itu kembali bertanya pada Joy, seolah-olah ingin meyakinkan dirinya, jika hanya ada Joy dan sepasang kekasih yang mereka layani sejak sore hingga malam. Dan, selama hampir tiga jam terakhir, hanya Joy yang berdiam diri sendiri yang mereka tunggu di tengah suasana dingin dan cahaya temaram.

Wah, Joy pun tak berkata lagi. Segera ada sesuatu yang menyergap dalam dadanya. Ada desir yang tiba-tiba muncul, entah rasa takut, oh rasanya bukan, karena Joy tak merasakan ketakutan akan sesuatu. Joy memang tak percaya soal hantu, memedi atau apapun namanya. Meski apa yang dialami terasa sangat nyata.

Segera saja membayang kilasan ingatan tentang enam orang sosok, yang duduk melingkar di gazebo kayu, yang ada di salah satu pojokan pinggir kolam renang lantai enam hotel yang baru di re-soft launching di Malang itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun