melanjutkan posting sebelumnya, untuk melakukan pembaruan membutuhkan pikiran positif. Saat ini memang ada sejuta bahkan mungkin miliaran alasan untuk terperosok dalam pikiran negatif tentang Indonesia, tentang Islam dan masyarakarat yang ada di dalamnya. Namun, cukup satu alasan saja sudah bisa menggerakkan pembaruan. Paling tidak itulah yang pernah kuyakini, dan sampai kini tetap kuyakini untuk bergerak dari ketidakberdayaan menjadi sesuatu yang menurut standar normal dianggap berdaya, mampu secara ekonomi, dan bisa hidup layak menurut tataran agama yang kuyakini.
Aku juga tidak tahu tahu persis, mengapa dan apa yang dibutuhkan untuk melakukan pembaruan itu. Intinya bisa saja apa yang kita tahu, harapkan dan lakukan, akan jadi sekumpulan data saling berkontraksi dan menolong kita dalam membuat keputusan dan pada akhirnya, keputusan itu akan menjadi pembaruan dalam perjalanan hidup dunia Islam dan implikasinya pada diri sendiri.
Disinilah saya jadi ingat pesan guru ngaji di kampung, bahwa sebagai seorang Muslim memang harus terus mengembangkan wawasan. Jangan seperti katak dalam kolam yang hanya tahu dunia kecilnya. Disinilah juga arti dari perintah untuk berhaji bagi kaum Muslimin. Bahwa, paling tidak seumur hidup seorang Muslim sudah pernah satu kali keluar dari wilayah nyamannya di kampung, menuju bagian dunia lain yang membukan cakrawalanya. Betapa perintah berhaji sesungguhnya amat luar biasa dan memang pantas dirayakan, disambut dengan suka cita dan harapan akan banyak hal, diantaranya juga memperlihatkan bahwa seseorang yang sudah berangkat berhaji juga sudah punya kemampuan baik fisik, psikis, maupun ekonomi.
Tetapi yang jelas, sebagai Muslim sudah diperintahkan agama untuk terus belajar dan membuka diri terhadap hal-hal baru, termasuk hal yang paling aneh sekalipun, hal yang tidak bisa diterima akal sehat sekalipun, dan hal yang amat bertentangan dengan pinsip kenyamanan diri.
Kembali ke masalah pembaruan dalam dunia Islam, sesungguhnya banyak yang belum terkomunikasikan dengan baik, sehingga ketidaktahuan ditumpuk dengan kecurigaan, pada akhirnya menghasilkan stereotipe yang amat merugikan baik bagi Muslimin, maupun bangsa ini.
Karen Armstron dalam bagian pengantar buku yang berjudul Masa Depan Islam karya John L. Esposito yang diterbitkan Mizan menyebutkan serangkaikan kalimat yang cukup menggugahku. Pikiran waras bertemu dengan pemikiran yang lebih runut, membuatku bersemangat dan seolah aku mempunyai daya dorong baru.
Menarik melihat jawaban Karen terhadap pertanyaan Mengapa tidak ada pembaruan di dalam Islam ?
Menurut Karen, pertanyaan itu menyingkapkan ketidaktahuan mengenai sejarah Islam dan sejarah Barat. Pertanyaan itu mengasumsikan ada sesuatu yang istimewa dan unik dalam gerakan reformasi yang digagas oleh Martin Luther (1483-1556) dan John Calvin (1509-1564) yang menunjukkan superioritas dan watak progresif budaya Barat. Sesungguhnya, reformasi Luther adalah reformasi pramodern yang biasa, srupa dengan banyak gerakan ishlah (reformasi) dan tajdid (pembaruan) yang sering menandai sejarah kaum Muslim. Mereka semua, baik Muslim maupun Kristen, mengikuti agenda yang serupa: mereka berusaha kembali ke sumber tradisi dan emngesampingkan kesalehan masa lalu. Dengan demikian, upaya Luther dan Calvin unuk kembali ke Kristen yang "murni" menurut Alkitab dan Bapa-Bapa Gereja, persis sama halnya degan seruan Ahmad ibn Taimiyyah dari Damaskus (1263-1328) untuk kembali pada Al Quran dan sunnah Nabi Muhammad SAW. Dalam hasratnya kembali ke khiththah, ibn Taimiyyah juga menjungkirbalikkan fiqih dan filosofi Abad Pertengahan yang sangat dimuliakan saat itu, serupa dengan Luther dan Calvin yang menyerang teologi skolasik Abad Pertengahan. Karena itu, sebagaimana reformasi Muslim, gerakan Luther dan Calvin itu juga reaksioner dan revolusioner.
Menarik disini, coba perhatikan tahun masa kehidupan ibn Taimiyyah dengan Luther dan Calvin. Ini membuktikan bahwa sesungguhnya seruan perubahan itu lebih dulu di kalangan Muslimin, yang memang terganggu dengan kemunduran dunia Islam saat itu dan ada kebutuhan untuk bangkit. Dunia Islam yang mulai tenggelam dalam percaturan dunia.
Yang amat membakar semangat ku dari pesan Karen adalah gerakan pembaruan biasanya terjadi dalam periode perubahan kultural atau sesudah bencana besar dalam politik, ketika jawaban-jawaban lama tidak lagi memadai dan para pembaru berusaha menutakhirkan tradisi lama supaya dapat memenuhi tantangan jamannya. Reformasi Protestan berlangsung saat terjadi perubahan sosialyang mencolok di awal masa modern, ketika orang-orang merasa tidak lagi mempraktikkan keyakinannya dengan cara seperti leluhur mereka di Abad Pertengahan. Jadi, reformasi itu lebih merupakan produk ketimbang penyebab modernisasi, dan Luther seharusnya bukan dianggap sebagai penghasut perubahan, melainkan dianggap sebagai juru bicara kecenderungan jamannya. Proses serupa kini sedang berjalan di dunia Muslim, dengan proses modernisasi yang bahkan lebih problematis daripada Eropa pada abad keenambelas karena diperumit oleh gangguan kolonial dan pengaruh Barat terhadap urusan dalam negeri bekas koloninya.
B agaimana dengan kondisi Indonesia, negeri yang kucintai ini ? saat ini ada sejumlah alasan kuat untuk menyatakan negara ini gagal, namun pernyataan ini bagiku sesungguhnya hanya menjadi jawaban pelarian saja. Pasalnya, tidak akan menyelesaikan ataupun mendorong untuk melakukan apapun. So what gitoloh, setelah dinyatakan gagal. Karena toh tidak banyak bahkan tidak ada yang melakukan sebuah langkah revolusioner atau langkah kecil untuk berbuat memperbaiki sesuatu. Namun, memang banyak yang sudah melakukan perubahan itu dalam skala selemah-lemahnya iman, melawan dalam hati. Namun, pastinya ini tidak cukup. Sebelum Sultan Muhammad II berhasil menguasai Konstantinopel, bergenerasi sebelumnya banyak yang memimpikan, namun juga tidak ada yang berbuat langkah konkrit yang memungkinkan untuk membuat langkah penting itu, yang implikasinya masih dirasakan hingga kini.