Mohon tunggu...
Imam Prihadiyoko
Imam Prihadiyoko Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Lahir dan besar di Lahat, Sumatera Selatan, 17 Desember 1972. Baru keluar kampung ketika kuliah di jurusan Ilmu Politik, FISIP-Universitas Indonesia, tahun 1992. Lulus dari kampus Depok tahun 1997, sejak itu melanglang di dunia jurnalistik sampai sekarang. Hidup ini seperti ikan yang berenang di sungai Lematang. Kala sungai banjir, terpaksa menepi. Disaat lain, sungai tampak jernih, udara sejuk, cahaya matahari cerah, bisa berkeliling sungai. Namun, baik banjir maupun tenang, mendung ataupun cerah, semuanya bagian kehidupan yang mestinya dijalani dengan senang dan sabar. Akan sangat senang kalau ada yang mau berteman, hubungi: mamprihadiyoko@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Soetrisno Bachir dan Dunia Sufinya

24 Januari 2010   19:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:17 701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah lama nian aku gak mendengar tentang sufi, namun kembali menyeruak dengan mendalam setelah melihat Saudaraku Soetrisno Bachir menekuni dunia sufi-nya. Paling tidak, seminggu dua kali seorang “guru” hadir di rumahnya dalam pengajian kecil, pasca “pengkhianatan” versi pondok indah, dan “pembaharuan” versi gandaria, seusai pemilu legislatif lalu di Yogyakarta.

Semula, kupikir langkah itu hanyalah sementara sebagai pelipur lara, namun ternyata hingga kini masih terus berlangsung. Tampaknya, tak ada mampu menggoyahkan keinginan Mas Tris, untuk menekuni dunia sufi-nya. Bahkan, kongres PAN di Batam diawal tahun ini pun, tak menggoyahkannya untuk tergoda kembali mengejar kursi kekuasaan.

Inilah yang membuatku jadi ikut membaca berbagi literatur tentang sufi. Namun dari sejumlah literatur buku dan info dari Eyang Goegle, yang paling menarik bagiku adalah penjelasan tentang sufisme yang pernah dibuat Ali Syari’ati seperti yang ditulis Ali Rahnema. Ia mengidentifikasi sufisme dalam sejarah Islam dalam dua dimensi yang kontradiktif.

Pertama, dicirikan dengan anti keduniawian dan pencarian kedamaian batin. Arusnya berjalan dengan pengorbanan keseluruhan kehidupan dnegan mempraktekkan anti-sosial yang didasarkan pada introspeksi diri, ketertutupan, dan pertapaan. Lagi-lagi ini memang baik, karena ingin memperbaiki kualitas diri untuk menjadi manusia hinggil budhi. Namun, negeri ini sekarang memang tidak sekedar membutuhkan orang yang baik, tetapi orang baik yang berbuat lebih. Kalau menjadi orang baik dan membangun ketentraman batin itu bisa dicapai rata-rata orang, maka mereka harusnya mau lebih dari itu, agar ada nilainya bagi kemanusiaan.

Kerangka sufi yang pertama itu tidak diharapkan bagi perbaikan umat Islam. Apatisme sosial dan politik yang ditimbulkannya, bisa mengecewakan. Sufi seperti ini hanya makin mendorong kemunduran kaum Muslim. Bahkan, langkah seperti ini dianggap sebagai sebuah kejahatan, karena adanya pembiaran. Bahasa sekarang omisi. Pembiaran terhadap adanya kemiskinan, kesengsaraan, buta huruf, kelaparan, korupsi, karena itulah sufi seperti ini hanya akan menjadi obat tidur yang melenakan, dan bisa menjadi racun yang menghancurkan ummat Islam. Ini adalah sufi yang teraleanasi.

Itu sebabnya, Ali Syari’ati kemudian memberi arti sufi yang kedua. Sebuah pandangan heroisme, keagresifan dan tendensi untuk menentang status quo. Sutifme dalam tatanan yang kedua adalah mazhab pemikiran dan praktek yang liberal yang mengajari individu tentang kebebasan dari belenggu agama, kelas yang berkuasa dan semua kekuatan yang opresif. Ali Syari’ati berpandangan, bahwa secara historis sufisme ini telah memberontak melawan represi tirani, dan kemunduran, penyimpangan dan kepalsuan Islam. Oleh karena itu, sufisme memiliki potensi untuk menjadi gerakan “anti-agama” yang memberontak melawan Islam, yang membatasi dan memiki banyak kewajiban yang tidak berjiwa.

Ali Syari’ati ingin mencari wacara sufi yang secara sosial memiliki komitmen dan secara politik punya dasar argumentasi yang kuat. Sebuah landasan berpikir yang menggabungkan aspek gnostisisme personal positif dengan sebuah komitmen sosial untuk keadilan dan kebebasan. Karena dalam sejarah Islam pun, selalu ada gerakan-gerakan pembaharuan dan politik keagamaan, yang pada awalnya dianggap sebuah penyimpangan. Anggota tatanan sufi seperti ini, dikenal akan kecintaan merekah terhadap manusia, sebuah rasa kebajikan yang akan mengantarkan mereka untuk menjadi simbol dan legenda keramahan, kemurahan hati, dan keberanian. Membantu mereka yang dalam kesusahan, membebaskan mereka yang berada dalam kekuasaan tiran, memberikan makanan mereka yang kelaparan dan memberikan pengarahan spiritual dan moral dalam masyarakat yang tidak punya tuntutan, meski mereka mengaku beragama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun