Kalau ingat lagunya Rhoma Irama yang pernah populer puluhan tahun lalu tentang jumlah penduduk Indonesia maka akan bisa kita bayangkan negara ini dihuni oleh ratusan juta nyawa. Mulai dari Sabang hingga Papua. Maka jika kita bicara tentang Indonesia maka perlu rasanya kita membincangkan jumlah yang ratusan juta. Sebuah bilangan yang luar biasa banyak untuk negara yang per hari ini masih tergeletak mendiskusikan hal-hal yang tidak relevan lagi.
Misalnya, jika seorang Ahok telah ditersangkakan maka ada baiknya langsung saja di tahan karena yang kita bicarakan adalah sebuah provinsi yang berisi jutaan manusia yang membutuhkan kepastian pengelolaan pemerintahan daerah. Dalam kurun waktu yang cukup, Ahok hanya menghasilkan keributan yang sangat tidak produktif. Bagi rakyat kebanyakan AHok adalah bencana sosial yang sebaiknya segera diselesaikan. Mumpung dalam masa pilkada maka ada baiknya "barang" satu ini disimpan saja sebagai cinderamata bahwa ke-bhinneka-an pernah dan telah menghasilkan ribut-ribut yang tidak perlu.
Lalu sebaiknya pula mata kita sorongkan pandangannya kepada Jokowi, seseorang yang pernah sebuah majalah ternama diluar sana membuat sindiran halus dengan menyebutnya sebagai harapan. Entah apa sindiran tersebut ternyata memang telah diperhitungkan sedemikian rupa karena dalam kurun dua tahunan Jokowi hanya menghasilkan begitu banyak seremonial yang nyaris tidak jelas juntrungannya. Malahan saat ini lebih memilih menghabiskan waktunya untuk melakukan aktifitas yang lebih kental nuansa benchmarking-nya antara SBY sebagai senior dengan dirinya yang gagap kerja.
Indonesia menjadi layaknya panggung anak-anak PAUD yang sedang merayakan ulangtahun dan diisi oleh pernak-pernik pesta yang gaduh dengan teriakan-teriakan balita yang baper. Ahok yang menggunakan kostum Winnie the Pooh dan Jokowi berlagak seperti Power Rangers. Asli bikin gemes dan pengin nyubit pipi mereka.
Khusus Jokowi menurut penulis, memang sebaiknya dibiarkan saja dia jumpalitan sesuka-sukanya sampai dengan 2019. Ekspresi dan eksperimental tipikal anak baru gede efek dari pencitraan mass media produk kampanye tahun lalu. Membiarkan Jokowi untuk menikmati "rasanya" menjadi presiden harapan mass media memang sangat manusiawi. Tidak perlu gondok dan sakit hati melihat Jokowi melengos dan memilih untuk melihat-lihat ruas jalan tol di sudut Jakarta pada aksi Bela Islam kemaren karena memang begitulah kualitas presiden yang tercipta dari booming media sosial dan tepuk tangan para penggembira yang banyak duit.
Tuduhan makar dan seterusnya adalah output bagi seseorang yang gamang dengan prestasi yang pernah dia persembahkan untuk rakyat yang jumlahnya ratusan juta. Berharap adil? Sudahlah jangan ikut-ikutan baper. Berharap Jokowi ingat janjinya untuk memenjarakan para pembakar lahan yang menyebabkan kerusakan parah pada sejumlah hutan atau menhasilkan padi atau garam, dua jenis komoditas yang setidaknya bisa mengenyangkan mayoritas penduduk Indonesia sudah patut untuk disyukuri.
Jadi Indonesia itu tidak melulu hanya untuk memperhatikan dua orang ini. Mending hidup terus berlanjut. Biarkan saja Ahok untuk menikmati pengapnya penjara dan melepaskan Jokowi bersenang-senang hingga akhir jabatannya periode ini. Menurunkannya ditengah jalan tidak sebanding dengan biaya yang harus ditanggung oleh begitu banyak manusia di Indonesia. Biarkan saja dia memenuhi porto folio karirnya dengan sejumlah prestasi telah meresmikan ini, meresmikan itu, ground breaking sana dan ground breaking situ.
Cukup berdoa kita diberikan kesabaran oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Salam Celingak-celinguk!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H