Berbeda dengan NU yang lebih memilih jalur soft untuk melawan tirani minoritas yang sedang dipegang Ahok, Muhammadiyah sepertinya menggunakan pendekatan hard counter atas upaya-upaya Ahok yang mendelegitimasi ormas-ormas Islam disaat dirinya baru menjabat sebagai Gubernur di sebuah provinsi. Ahok memang secara faktual lebih banyak menabur duri-duri ketidaknyamanan kepada Muhammadiyah ketimbang Nahdlatul Ulama.
Yang paling mencuat adalah saat Ahok mengatakan Muhamaadiyah adalah ormas munafik saat dirinya mengupayakan perlunya ada lokalisasi pelacuran di Kota Jakarta sementara PP Muhammadiyah mengemukakan keberatan atas ide yang sangat tidak masuk akal tersebut.
Alhasil beberapa underbouw dari Ormas Muhammadiyah seperti IPM, IMM, PPM, Aisyiyah hingga Partai Amanat Nasional yang mayoritas didukung oleh anggota Muhammadiyah menunjukkan perlawanan sengit di kasus penghinaan agama yang kemudian telah ditetapkannya Ahok sebagai tersangka. Kecuali Buya Syafi'i Ma'arif yang terjebak didalam frame liberalisme-nya nyaris semua pesohor atau tokoh-tokoh ormas dengan tagline "pembaharuan" ini mengawal dengan ketat kasus penghinaan yang sudah mulai masuk tahap penyidikan oleh Kejaksaan.
Dien Syamsudin, Amien Rais dan semua pengurus Pusat serta beberapa anggota dari Fraksi Amanat Nasional memperlihatkan sikap yang membuat cemberut Megawati yang merasa perjuangannya untuk mengantarkan Ahok sebagai Gubernur untuk periode berikutnya terancam gagal. Meskipun diduga Megawati memiliki rencana jangka panjang untuk 2019 terkait mengamankan insiden BLBI yang telah merugikan negara supertrilyunan rupiah dari tekanan politik yang mungkin akan muncul setiap saat. Megawati seperti melupakan sejarah betapa Soekarno dengan bangga menyebutkan dirinya sebagai "orang Muhammadiyah" dan memilih berseberangan dengan bapak biologisnya tersebut.
"Tatkala umur 15 tahun, saya simpati kepada Kyai Ahmad Dahlan, sehingga "mengintil" kepadanya, tahun 1938 saya resmi menjadi anggota Muhammadiyah, tahun 1946 saya minta jangan dicoret nama saya dari Muhammadiyah: tahun 1962 ini saya berkata, moga-moga saya diberi umur panjang oleh Allah Subhanahu wa Taala, dan jikalau saya meninggal, supaya saya dikubur dengan membawa nama Muhammadiyah atas kain kafan saja," ujar Haedar Nashir juga menceritakan pidato Bung Karno pada penutupan Muktamar Muhammadiyah Setengah Abad tahun 1962 di Jakarta.
Sepertinya Ahok memang mendapatkan 'lawan' yang tangguh, kesemrawutan mulutnya dan sikap under estimate-nya kepada khalayak berakhir dengan penolakan secara massive hingga bahkan di daerah-daerah yang jauh dari hiruk pikuk Jakarta. Islam telah menunjukkan kekuatan politisnya pada kasus Ahok. Para pengusung dana unlimited dari eksistensi Ahok di konstelasi politik Indonesia terbuyarkan sudah. Jauh-jauh hari para petinggi Muhammadiyah memang sudah mencium bau-bau rantai gerakan sistimatis dari perjalanan Ahok. Memungkiri adanya misi-misi melanggengkan hegemoni etnis keturunan cina tidak lagi sekedar di sektor ekonomi dan tersiratkan akan melebar di sektor politik sebagai ruh dari dominasi mereka di negara Republik Indonesia seperti memungkiri matahari terbit di ufuk timur.
Menyatakan Ahok hanya seseorang yang getol memerangi korupsi dan sangat dibutuhkan oleh Indonesia adalah sebuah perwujudan inferioritas akut yang memberikan dampak dari masyarakat mayoritas apa yang di sebut sebagai gerakan Pembangkitan Bumi Putera. Sebuah artikel yang mencoba mengaburkan potret mayoritas di Singapore yang katanya akan memberikan peluang ras Melayu untuk menjadi Perdana Menteri ke depan dan lupa untuk mencari tahu mengapa lagu kebangsaan negara kecil tersebut menggunakan bahasa melayu. Artikel tersebut tersirat menyiratkan agar para 'melayu-melayu' di Indonesia meniru kelonggaran hati ras cina di Singapore kepada Ahok.
Kasus-kasus yang membelit Ahok semenjak kasus penambangan pasir kwarsa di Belitung, pembelian tanah penuh masalah di RS. Sumberwaras, kasus paling sinting di Reklamasi Pantai Utara dan terakhir penghinaan islam adalah output dari tidak bermoralnya seorang Ahok yang dianggap maksum oleh sebagian kecil kelompok-kelompok yang memang nebeng di dinamika politik Indonesia. Mereka nebeng dengan harapan ketika Ahok -katakanlah berhasil menjadi RI-2 akan meminta bayaran atas dukungan politik mereka selama ini. Transaksi politik yang murahan dan menjijikkan.
Muhammadiyah memilih jalan tidak populis. Muhammadiyah memilih jalan terjal untuk melawan hegemoni, tirani dan eksistensi Ahok yang nirmanfaat bagi ummat Islam Indonesia. Isu-isu miring yang dihembuskan kepada situasi pelik antara gamangnya sikap Jokowi, ambigunya para elitis menentukan perspektif politik mereka dan teguhnya ummat Islam untuk menagih keadilan pada kasus Ahok akan menjadi penentu nasib Indonesia di kemudian hari. Muhammadiyah membuang prasangka atas ke-cina-an Ahok dan keyakinan yang dianutnya. Muhammadiyah hanya konsisten kepada prilaku munafik danpenghinaannya kepada Islam.
Sikap ormas ini yang ditunjukkan oleh KOKAM (sebuah underbouw yang memiliki kesamaan dengan Banser di NU) yang bertransformasi menjadi Komando Kawal Al Maidah yang menjanjikan akan mengirim hingga sejuta anggota Muhammadiyah pada aksi unjuk rasa yang berlangsung awal Desember nanti.
“Hasil laporan dari daerah-daerah, dari 30 juta warga Muhammadiyah diperkirakan hingga 1 juta akan ikut aksi super damai ini”, ungkap Koordinator Nasional Komando Kawal Al Maidah (KOKAM), Mashuri Mashuda.