Mohon tunggu...
Imam Prasetyo
Imam Prasetyo Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Saya muslim

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ketika Dinamika Politik Elitis Tidak (Lagi) Representatif di Akar Rumput

23 November 2016   08:44 Diperbarui: 23 November 2016   09:04 850
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saat membaca sebuah artikel dari Kompasianer Yon Bayu penulis melihat ada sebuah pemahaman yang sepertinya tidak persis seperti tengah apa yang terjadi. Artikel tersebut menuliskan bahwa hari ini di tengah agenda Jokowi melakukan konsolidasi politik dalam bentuk silaturahmi dan safari kepada beberapa petinggi partai yang pernah berseteru dalam frame partai pendukung pemerintahan dan oposisi. Kunjungan mulai dari Prabowo, Surya Paloh, Rommy dan terakhir Megawati sepertinya memberi sinyal kepada para konstituen untuk bersikap sebagaimana yang ditunjukkan oleh para ketua umum tersebut. Apakah berhasil?

Penulis lebih memilih untuk mengatakan  bahwa prilaku kosmetis dari elitis tersebut diatas sejatinya tidak mewakili geliat di akar rumput. Seperti yang dituliskan oleh Yon Bayu mengenai polarisasi antara Nasionalis dan Agamis (baca: Islam) tidaklah tereskploitasi. Dan ada beberapa faktor yang menjadi latar belakang penulis untuk memilih mengatakan bahwa putusnya koneksi antara akar rumput atau sebut saja sebagai konstituen dengan elit partai. 

Pertama, kejadian di Kepulauan Seribu pada esensinya adalah penistaan kepada ummat yang tidak lagi bisa dibungkus dengan kemasan si A adalah PPP, si B adalah PKS, si C adalah Golkar dan seterusnya. Agama akan menghancurkan sekat-sekat primitif dari eksistensi demokrasi yang saat ini diwujudkan dari sebuah eksistensi partai. Mereka yang akan berduyun-duyun pada awal Desember nanti adalah mereka yang selama ini menunggu informasi awal Ramadhan dari Pemerintah (ummat Islam yang menurut penulis menyebutkan dirinya sebagai Nasionalis dan bukan puritan seperti tudingan Tito Karnavian kepada kemungkinan makar) dan mereka yang berbaju Muhammadiyah (PAN, PKS, PPP, Golkar) dan Nahdliyyin (PPP, PKB dan Golkar). Sekat-sekat partai hilang lenyap.

Kedua, adalah mahfum adanya konfigurasi demokrasi di DKI Jakarta adalah potret kegagalan dari kepalsuan demokratisasi dimana eksekutif betul-betul mendominasi kekuasaan dan legislatif lebih mirip kucing kesiram air got dan meringkuk di sudut Rumah Rakyat sambil menunggu masa bakti mereka berakhir. Potret tersebut akan sama persis terjadi di tingkat Nasional dimana himbauan Zulkifil Hasan, Rommy dan Setya Novanto hanya akan masuk kuping kiri dan keluar dari pantat rakyat.

Ketiga, ulama-ulama yang selama ini dikooptasi oleh kekuatan nirwujud dari pengusung sekularisme, pluralisme dan liberalisme mendapatkan momentum kepatuhan ummat saat Islam dijadikan obyek penistaan dan bergabungnya kekuatan-kekuatan nasionalis yang betul-betul genuine seperti yang direpresentasikan oleh sikap-sikap Rachmawati Soekarnoputri. Himbauan Megawati hanya efektif kepada para pendukung "pejah-gesang nderek Bung Karno" dan kehilangan sinarnya dihadapan para konstituen PDI Perjuangan yang menjadi korban langsung keganasan seorang Ahok saat menggusur atas nama Peradaban Baru Jakarta.

Polarisasi yang di maksud (baca: nasionalis vs agamis) akan sangat jauh panggang dari api. Tapi jika yang dimaksud tersembulnya kekuatan agamis di sela-sela kegamangan Jokowi bersikap dan seperti yang penulis tuliskan dibeberapa artikel tentang penumpang gelap dari gerbong kemenangan Jokowi di pilpres lalu seperti mendapatkan pembenaran. Para penumpang yang sedianya akan mengkooptasi kekuatan islam sebagai kayu bakar kemajuan bangsa ternyata mendapatkan ganjalan yang luar biasa. Lihat saja sepakterjang Guntur Romli dan isteri terkasihnya yang berusaha menciptakan momentum perlawanan balik pihak-pihak yang mengatasnamakan energi Kebangsaan hanya direspon oleh secuil manusia yang gagal mendapatkan informasi yang mencukupi.

Aksi 212 mendatang pada akhirnya adalah sebuah pernyataan paling keras dari akar rumput bahwa geliat kosmetik para elitis sejatinya tidak lagi menjadi wujud dari perwakilan rakyat yang sesungguhnya. Apapun yang dikonsolidasikan oleh Jokowi dengan beberapa elit partai selama tidak menyentuh langsung "titik api" dari kemarahan rakyat hanya akan membuang waktu yang seharusnya menjadi concern bagi Jokowi.

Momentum-momentum penting yang berlarian sepanjang bulan November-Desember hanya akan menghasilkan sebuah kondisi-kondisi yang sangat diluar dugaan. Dan sekali lagi penulis lebih menyukai untuk memilih tebakan sebagai berikut;

Pertama, Jokowi pada akhirnya akan menghantam Ahok sedemikian rupa dan diluar dugaan para partai pengusungnya

Kedua, ummat mendapatkan justifikasi untuk menjadikan syariat Islam sebagai landasan bernegara karena melihat konstitusi dari yang berlaku saat ini UUD 1945 dan Pancasila hanya menjadi pepesan kosong dan lebih terlihat berdampak kepada penggerusan nilai-nilai keislaman yang menjadi agama dari mayoritas penduduk

Ketiga, TNI dalam hal ini Panglima ABRI lebih menunggu sikap-sikap elit terkait pecah kongsinya rakyat dan pemerintahan.

Keempat, abstainnya negara saat betul-betul buntu diskusi antara para pengunjuk rasa dan pemerintahan akan memicu sebuah aksi yang lebih di luar dugaan dan demo-demo yang ditunjukkan oleh beberapa daerah seperti Papua yang mengancam untuk melepaskan diri akan di respon oleh beberapa daerah lain yang juga memberikan sinyal kepada daerah-daerah yang menunjukan sikap tidak simpatik kepada ummat islam.

Dan pilihan-pilihan realistik hingga pragmatis pada akhirnya akan menuntun kita kepada sebuah persimpangan, apakah hanya gegara seorang Ahok bangsa yang sangat besar ini akan menjatuhkan dirinya hingga hancur berkeping-keping? Ahok pada akhirnya sebuah momentum ummat islam menunjukkan kepada Indonesia bahwa politik yang memiliki fatsun akan jauh lebih dihargai ketimbang politik pragmatis yang dipertontonkan para khalayak pendukung Ahok baik di dunia maya yang liar tanpa kendali dan dunia realita dimana setiap sudut dirinya di hadang dan di usir.

Tidak sulit dan sukar sebenarnya bukan?

Salam Anti Keniscayaan!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun