Mohon tunggu...
Imam Prasetyo
Imam Prasetyo Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penyuka Berudu atau Kecebong, makhluk hidup yang sedang menuju transformasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Berjenggot Tidak Selamanya Berarti Sholeh

2 Februari 2018   11:15 Diperbarui: 2 Februari 2018   11:30 1261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada dua pria, yang satu dahinya hitam (katanya indikator kesungguhan dalam shalat), celana cingkrang, memelihara jenggot dan nyaris menjalankan semua anjuran dalam ber-islam. Yang satu lagi, berambut gondrong, mengenakan topi soft ball, celana jeans belel hingga nyeret-nyeret tanah karena saking modelnya lagi happening serta tentu saja amalan ibadahnya bagus dan baik.

Pertanyaannya simpel, pembaca akan memilih yang mana? yang sok ke-arab-arab-an atau yang sok ke-kini-an?

Jika basis menilai pembaca adalah kostum, tentu saja tergantung selera anda untuk menjadi basis menilainya. Bagi yang merasa Islam bukan arab maka penampilan mbois seperti bertopi soft ball, gondrong dan n cool abis akan menjadi pilihan utamanya. Karena selain sholeh, taat, berperangai baik tapi tidak udik dan jumud --demikian-- tudingan sering hinggap kepada mereka yang memilih untuk berdandan memakai gamis, memelihara jenggot dan ber-ana-antum jika ngomong.

Namun jika basis menilai adalah output dari "akhlak yang karim" maka penampilan tidak menjadi main factor. Karena memang nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wassalam diberikan risalah Islam untuk memperbaiki akhlak umat. Abu Lahab dan Abu Jahal adalah orang arab yang keren. Karena selain kayaraya, mereka berdua ini adalah orang terpandang saat itu. Konon juga berjenggot dan berbahasa ana-antum kalau ngobrol.

Akhlak yang karim itu tidak identik dengan apa yang dipakai dan disandang. Begitu banyak mereka yang --bahkan-- bergelar haji tapi senewennya minta ampun. Bejatnya kuadrat, nggragas-nya puol. Semua yang indah di embat. Mulai cewek hingga duit negara. Ini fakta. Semua agama memiliki potensi ini. Pendeta yang cabul dan bhiksu yang doyan selangkangan sudah bukan rahasia umat lagi bukan? Anand Khrisna dan Aa' Gatot Brajamusti adalah sekian dari mereka yang jualan cashing alias penampilan. Menyebalkan memang tapi fakta ini yang kerap memicu orang akhirnya nyinyir dan melupakan betapa pakaian yang kita sandang seharusnya adalah representasi apa yang di dalam.

Lalu apakah salah jika ada mereka yang memilih untuk berpakaian seperti yang di kehendaki oleh nabinya dan memilih untuk menuding perkataan dari pembawa risalah tersebut sudah out of date? Entah apa yang ada di batok kepalanya hingga berani mengatakan hadits bisa saja tidak lagi relevan dengan situasi dan era yang terkini? Anak dari Abdullah bin Abdul Muthalib tersebut tidak obral omongan karena apa yang disampaikan pada esensi-nya adalah wahyu. Ilmu hadits adalah cara terbaik untuk mengambil makna yang tersirat dan tersurat. Tidak bisa di rampok oleh persepsi ke-daerah-an. Kesan bahwa nabi hanya merupakan representasi ke-arab-an adalah pemilihan sikap yang norak dan rasis tentu saja. Sikap anti arab ini adalah ekses berhasilnya Kemal Pasha Ataturk, biang penerapan sekularisme di Turki pasca tumbangnya Ottoman. Idiom dan nilai bengkok ini ternyata lebih di sukai oleh para tradisionalis di Indonesia ketimbang anjuran Nabi. 

Memiliki sikap baik, beramal sholeh, berakhlak karim dan kemudian memilih untuk ber-cashing apakah sesuai dengan anjuran untuk "laa tasyabah" dengan kelompok baik atau kelompok buruk. Bisa jadi mungkin di tahun 3000 masehi mereka yang bertopi soft ball, bercelana jeans belel lebih islami ketimbang mereka yang bergamis maka matan dari hadits untuk tidak meniru sebuah kaum brengsek, pongah, menghina kaidah tauhid dan seterusnya tersebut terpenuhi maknanya secara kontekstual. Yang di sasar Nabi adalah akhlak sebuah kaum bukan apa yang dipakai kaum tersebut.

Mengenai jenggot. Tentu saja trend para pemusik yang saat ini getol memelihara jenggot tapi plus piercing dimana-mana, memakai celak juga tapi jidat di tatoo  tidak bisa kita katakan mereka orang yang sholeh. Jenggot adalah bagian tidak terpisahkan dari karakter islami. Tentu saja anjuran (dalam penafsiran lain disebutkan sebagai perintah) memelihara jenggot adalah sebuah karakterisasi pria muslim selain getol beribadah sekaligus menunjukkan perbedaannya dengan umat lain. Dan tidak perlu bersungut-sungut bahwa Nabi memerintahkan berjenggot dan mencukur kumis karena orang arab semua berbakat memiliki banyak bulu. Anggapan ini semakin menunjukkan apa yang didalam batok kepala semakin berkurang volumenya.

Yang repot adalah, sudah getol menafsirkan Islam dalam persepsi rasis (yang penting bukan arab), berlagak bak shahabat ajma'in yang Tuhan telah ridha kepada mereka karena bertahan dalam suka dan duka, lapang maupun sempit saat bersama pria yang mendapatkan wahyu tersebut. Shahabat saja apa yang disampaikan nabi hanya berucap, "sami'na wa atho'na" dan sibuk mengumpati orang lain yang tidak se-ide dengan konsep "islam nusantara"-nya. Weladalah, ndasmu jeblug!

Salam Ujung Jari!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun