Mohon tunggu...
Imam Prasetyo
Imam Prasetyo Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Saya muslim

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Indonesia Zaman Kini,

11 September 2017   13:25 Diperbarui: 11 September 2017   19:07 741
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Zaman dahulu, Lurah Semar mengadakan Klempencapir, sebuah acara yang disiarkan diprimetime (jam tayang yang paling tinggi rating penontonnya) yakni acara Dari Desa ke Desa. Acara yang diseting sedemikian rupa (katanya) adanya interaksi antara Lurah Semar dengan para petani. Setidaknya saat itu petani di"uwongke" dan tidak perlu teriak-teriak tentang pupuk, hasil olahan yang tidak terjual karena kalah bersaing dengan hasil impor dan janji manis pembangunan waduk irigasi.

Bahkan seorang kyai terkenal pun mengatakan bahwa Lurah Semar adalah wujud nyata seorang pemimpin yang memiliki konsep berkesinambungan, setidaknya itu terlihat dengan kemampuan swasembada bahan pangan. Jangan seperti Lurah Petruk yang bahkan garam pun masih didatangkan ke negeri yang rentang pantainya terluas sedunia.

Indonesia dahulu kala seperti itu. Tidak perlu banyak pernik-pernik citra bahkan rakyat dirudapaksa oleh para penggiat HAM untuk mengutuk Lurahnya. Padahal terbukti, para penggiat HAM tersebut adalah pencoleng "hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan." Mereka merampok nilai dasar negeri ini dengan kasus-kasus korupsi mega trilyun dan emoh melihat lembaga anti rasuah eksis.

Yang dahulu mewek-mewek angkotnya di rampok militer ternyata setelah menjadi lurah Srikandi malahan melego negeri ini ke negeri seberang. Mulai dari perahu untuk mengangkut bahan pokok hingga antena untuk menonton liga eropa digadaikan tiada tara.

Lurah Petruk yang gamang saat menjadi raja malahan bertingkah melebihi Rahwana. Semua ditakuti dengan embel-embel ujaran kebencian. Rakyat yang mulai mengerti gawai ditakutinya dengan tudingan intoleransi. Dan para demang dan pamong ditugasi untuk menebar rasa galau dihati rakyat. Jika Lurah Semar kondang dengan P4-nya maka si Petruk dengan aku rapopo.

Itulah Indonesia zaman sekarang, tak heran Lurah Semar masih hadir menggoda dengan seruan, "isih penak jamanku tho?"

Modyar koen!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun