Ade Armando, seorang dosen dan penggiat media sosial seperti dalam acara ILC dengan topik "Halal-Haram Saracen" mengumpat untuk ketidaksukaannya. Entah masuk dalam kategori hate speech atau bukan penulis tidak mengaitkannya dengan substansi tulisan di artikel ini.
Sebagaimana layak dan lazimnya seorang pengusung Islam Liberal, Ade Armando menuai badai kemarahan saat dirinya mencuit "Allah kan bukan orang Arab. Tentu Allah senang kalau ayat-ayatNya  dibaca dg gaya Minang, Ambon, Cina, Hiphop, Blues ...," ujarnya dengan  menempelkan tautan berita terkait Menteri Agama akan mengadakan festival  baca Alquran dengan langgam Nusantara. Blunder Lukman Syaifudin tersebut menyenangkan hati Ade Armando yang getol membuat Islam menjadi eksperimen sosialnya.
Penulis sempat berfikir jika dia adalah seorang yang khatam tentang Islam secara literal sebagaimana khatam-nya Ulil Absor Abdalla yang mengenyam pendidikan agama malahan hingga di Lipia meskipun tidak sampai lulus menunjukkan bahwa Ulil hanya terjebak dengan penggunaan akal secara berlebihan. Sebaliknya tidak dengan Ade Armando, setidaknya penulis berani menyimpulkan demikian setelah dirinya menulis seperti apa yang terlihat di tautan diatas. Bagaimana mungkin kita bisa mengeksplorasai alam fikirnya seorang Ade Armando ketika dirinya gagap mendefenisikan Allahu Azza wa Jalla sebagaimana seharusnya. Menuliskan Allah sebagai "makhluk" saja sudah selesai diskusi kita tentang perlu tidaknya umat Islam menjadikan dirinya sebagai obyek penelitian. Setidaknya di otaknya Ade Armando bakalan kita tidak akan pernah menemukan kosakata "Khalik" atau "Robbul".
Pria ini tidak lebih dari penganut agama yang linglung dengan tujuan dia beragama. Boro-boro memberikan pencerahan.
Selamat buat dirinya yang akhirnya mendapatkan "berkah" berupa pencabutan SP3 terkait pasal penodaannya setelah menurut Polri tidak dketemukannya unsur-unsur penghinaannya. Institusi dijaman Tito Karnavian entah kenapa seperti menjadi kanal para penghina agama untuk lebih ekspresif melakukan penghinaan. Kasus Ahok adalah bukti yang bisa kita jadikan sandaran apa yang disebut "yang haq tetaplah haq meskipun sistim bathil melindunginya".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H