Mohon tunggu...
Imam Prasetyo
Imam Prasetyo Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Saya muslim

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tragedi Genosida Myanmar dan Revolusi Mental yang Ditawarkan

4 September 2017   08:18 Diperbarui: 4 September 2017   08:29 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bicara Revolusi Mental tidak bisa sekedar di cara menyebutkannya melainkan melihat apa isinya. Apa yang dibawa oleh jargon ini. Apakah sekedar menimbulkan riuh tapi kosong muatan. Mendingan seperti DN Aidit, menggelegar dan mampu mengamplifikasi apa yang ada di kepala pentolan komunis tersebut.

Lihat saja apa yang terjadi  semenjak jargon tersebut digaungkan. Mulai dari rakyat harus menanam cabe di depan rumah jika pemerintah gagal mengendalikan harga komoditas. Lalu Setnov yang proaktif ingin menjadi makelar antara rakyat Indonesia dengan PT. Freeport Indonesia yang mengalir hingga ke MKD (mahkamah kehormatan dewan). Dan yang paling fenomenal saat rakyat yang marah karena agamanya di hina dan memilih pergi melihat proyek skala menteri. Untuk hubungan luar negeri dan kebetulan memiliki sisi spiritual yang sama dengan kaum mayoritas, sebut saja tragedi genosida di Myanmar.

Itulah Revolusi Mental. Jangan lihat kosmetika dan citra yang dihamburkan, lihatlah substansi yang berkelindan di dalamnya. Jangan-jangan jargon tersebut bukan pula miliknya sehingga gagap mewartakan sekaligus menerapkannya.

Bayi yang dipenggal, mayat anak-anak yang mengapung disungai dengan badan penuh luka. Perempuan yang alat kelaminnya bagaikan tempat pembuangan sampah adalah obyek yang seharusnya membuat kita berdiri bersama untuk mengutuk, mencegah atau paling terakhir adalah mengakhirinya dengan segenap ongkos yang diperlukan. Myanmar bagaikan sebuah kanvas dimana warna-warna yang selama ini gaung disebutkan. 

Hak Asasi Manusia, Kesetaraan, Perlindungan Minoritas dan tentu saja Moral Pancasila. Mereka yang selama ini getol berteriak-eriak tentang betapa kelamnya kaum minoritas di Indonesia mendadak mingkem dan lupa ingatan. Bagi mereka Islam adalah mayoritas, dimana pun mereka berada dan memeluknya sebagai agama. Tidak ada perlindungan yang bisa diberikan. Tengok saja kasus Tolikara, dimana Islam adalah minoritas disana dan apa perlakuan yang diberikan oleh pemerintah.

Sebut lagi apa itu Revolusi Mental. Dan ini cara praktis untuk merasakan mual di pagi hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun