Siapa yang akan menyanggah bukti kehebatan dari institusi bersemboyan Tribrata ini? Bahkan semua dunia memalingkan wajahnya ke Indonesia setelah Densus 88 mempertontonkan bagaimana memperlakukan terduga teroris. Mulai dari menyusuri sudut-sudut persembunyian lalu menunggu momentum untuk kemudian bisa menjadi sebuah aksi dramatis dan fantastis.
Kehebatan dari korp ini semakin terlihat pada saat pilkada di DKI Jakarta. Mereka berdiri ditengah-tengah dan mengenyampingkan interes dan tendensi untuk memenangkan salah satu paslon. Hal ini terlihat saat mereka meminta Pengadilan Tinggi Jakarta untuk menunda Jaksa membacakan tuntutannya kepada tersangka kasus penghinaan agama, petahana yang juga sekaligus calon gubernur DKI Jakarta. Korps ini lebih menyibukkan diri untuk menangkapi mereka yang memiliki interes, intensi, niat jahat, antusiasme, gairah dan ide-ide untuk mengganti pemerintahan Jokowi dan mengganggu Ahok menjabat kembali.
Jenderal Tito mempertunjukkan kemampuan organisatorisnya untuk memusatkan konsentrasi dan fokus sepenuhnya menjaga marwah Jakarta dari anasir-anasir yang berdatangan dari daerah sekitar Jakarta saat ada keinginan melaksanakan beberapa aksi untuk mengingatkan pemerintahan Jokowi agar berlaku adil dan transparan.
Mantan Kepala Densus 88 dan melesat karirnya menggapai bintang empat di era Jokowi ini sepertinya masih di jalur anti terorisnya. Setiap gerakan yang konsisten mengkritisi kebijakan Jokowi yang tendensius untuk menjaga Ahok dari sergapan para islamis yang marah dengan melabelinya sebagai gerakan makar dan bertendensi memiliki keterkaitan dengan gerakan terorisme.
Lalu siapa Iwan Bopeng?
Pria yang menjadi timses dari Ahok dan petentang-petenteng akan menggorok atau memotong bahkan tentara ini saat murka dan mengamuk di sejumlah TPS saat putaran pertama kemaren per hari ini belum juga ditemukan dimana keberadaannya. Padahal -hingga Pangdam Jaya perlu untuk menenangkan prajurit yang ingin bertemu penuh cinta dengan pria yang fanatik dan militan untuk mendukung Ahok. Mendadak korps kepolisian mampet lobang hidungnya dan hilang ketajaman matanya. Entah kemana teknologi dan kemampuan senyap para bhayangkara yang selama ini sukses menciduk para begundal-begundal.
Bisa jadi mereka saat ini sedang berkonsenstrasi untuk membuat list (daftar) para mubaligh atau ustadz yang gemar mendakwahkan keharaman memilih AHok sebagai gubernur Jakarta dan menciduk para kritikus dengan sudut pandang agama. Mulai dari tudingan pasal pencucian uang hingga diadukannya Tito Karnavian oleh Sri Bintang Pamungkas ke Lembaga seperti Pengadilan Internasional dengan tuduhan Tito telah sembrono, tendensius dan tanpa bukti menuduh, menangkap dan menahan beberapa orang dengan pasal makar yang kemudian terpaksa dilepaskan karena lemahnya bukti-bukti yang ada. Penulis lebih meyukai untuk menyebut hal ini lebih kepada show of force dari Jokowi saja. Lebay!
Definisi makar sepertinya telah bergeser jauh setelah Tito menjabat sebagai Kapolri. Beberapa pihak yang intens menekan pemerintahan diberangus dengan pasal makar, hingga seorang Ketua FUI, Al Khathab yang dituding akan menduduki gedung DPR melalui skenarion menyusup melalui gorong-gorong di bawah tanah di kawasan Senayan.
Tito dan jajarannya sepertinya terlalu menghayati perannya di Densus 88 dahulu meskipun sejawat seperti BAIS dan BIN masih anteng dan kalem, Entah apa yang melatarbelakangi perangkat Bhayangkara ini seperti lepas kendali, apakah misi-misi mengamankan jalur sutera seorang tersangka penghina agama (baca: Ahok)?
Penulis malahan mewaspadai eskalasi perlawanan balik dari sejumlah warga kepada teman-temannya Iwan Bopeng yang putaran pertama kemaren begitu jumawa dan pongah mengintimadisi petugas KPPS. Menangkapi Ustadz Bachtiar Nasir, Ustadz Muhammad Al Khathab, Sri Bintang Pamungkas, Rachmawati dan beberapa pemuda dari Muhammadiyah tidak serta merta menggaransi Ahok akan memenangkan kontestasi pada tanggal 19 April nanti.
Jadi Pak Tito...di cari tuh si Iwan Bopeng, kurung bareng anggota FPI yang nakal.