Mohon tunggu...
Imam Prasetyo
Imam Prasetyo Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Suka membaca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Selamat Menikmati Radikalisme, Kawan Semua.

24 Mei 2012   06:04 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:53 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Radikalisme, secara bahasa diambil dari kata radix atau akar. Jadi paham ini adalah sesungguhnya paham yang bisa saja menyentuh semua aspek kehidupan manusia (apalagi aspek religiusitas ) di tempat yang fana ini. Karena ke-fana-an tersebut menyebabkan pelaku paham ini mencari akar dari pemahamanya untuk menuju ke-baqa-an. Apa sih akar dari agama atau keyakinan dari pemeluknya? Kepatuhan dan keta’atan! Ada level yang menjadi pembedanya. Semakin patuh dan taat seorang pelaku (saya menyebut hal ini untuk menghindari bias perspektif jika menggunakan kata pemeluk) semakin membawanya ke dasar dari pemahamannya.

Saya ambil contoh simple saja. Pelaku bom istisyhadiyah (bom yang membunuh carrier-nya) sangat meyakini kematian pintu masuk kehidupan kekal, kemudian apa yang dilakukannya adalah bagian dari amaliyah (perbuatan terpuji) dan tanpa perlu di hisab layaknya pemahaman pada umumnya bahwa sebelum memasuki jannah (surga; eden; nirwana) semua manusia akan melalui screening dan timbangan amal baik dan buruk saat hidup di dunia.

Radikalisme juga bisa berarti sama dengan liberalisme bagi Ulil Absar dan kawan-kawan se-imannya karena mereka menggunakan ornamen dunianya yakni akal. Jadi dasar atau akar dari semua perbuatan harus diawali dari kekuatan akal.

Pun di penganut Kristiani seperti George W Bush (meskipun berikutnya di ralat) bahwa peperangan di Iraq adalah Crusade, perang salib untuk menaklukkan sebuah area demografi yang dipenuhi oleh non kristian. Dan itu sah-sah saja, karena Bush meyakini hal tersebut bagian dari kedalaman imannya.

Persimpangan ini yang sebenarnya dihindari, ketika seorang radikal bertemu dengan radikal lainnya didalam perbedaan keimanan, yang ada hanya konflik; baik verbal maupun fisik. Perlu kita hindari? Ya! seharusnya dihindari dengan berusaha menggunakan idiom-idiom keimanan masing-masing.

Kalau pun ada perkakas administrasi dari negara untuk nyemplung didalamnya guna mengurai satu persatu akar masalahnya (radikalisme juga ya) seperti misalnya, kenapa Islam ngotot mendirikan masjid di Bali kalau cakupan populasinya tidak sampai memerlukan sebuah masjid disana yo wis jangan maksa. Dengan satu masjid bisa mengakomodasi keperluan ibadah 3 desa mestinya tidak perlu berlebihan memaksakan kehendaknya. Atau di Flores misalnya jika memang dari jumlah penduduk yang cukup banyak dan semestinya bisa untuk didirikan masjid mbok ya jangan dihadapkan dengan penolakan warga non muslim. Pemerintah bisa mengambil sikap politik untuk menyelesaikannya. Dari persyaratan administrasi SKB sudah dipenuhi yo wis…dirikan masjid.

Tapi radikalisme tidak akan punah sepanjang manusia sebagai pelaku keagamaan masih meletakkan iman diatas segalanya, iman terhadap apa yang disembah, iman terhadap apa yang diperintahkan, iman terhadap apa yang menjadi keharusan dsb.

Iman itu totalitas, tidak bisa ambil setengahnya kemudian tinggalkan setengahnya lagi. Untuk kasus Bekasi saya meyakini bahwa ada pergesekan radikalisme dari masing-masing agama yang dianut. So,…selamat menikmati radikalisme. Peace!!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun